Yulianto, Penjaga Pos Gunungapi Babadan
PERISTIWA PROFIL

Yulianto, Penjaga Pos Gunungapi Babadan

Menggunakan teropongnya menatap lurus puncak Gunung Merapi, pria setengah baya itu kembali tersenyum lega. Sudah beberapa waktu Merapi kembali menampakkan keindahan dan keanggunannya, awan pun bergerak mulai meninggalkan sisi-sisi gunung, semakin memanjakan mata beberapa tamu yang datang di Pos Pengamatan Gunung Api Merapi Babadan, Jumat (24/07) sore itu.

Hari itu Plt Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Saleh Abdurrahman bersama rombongan meninjau salah satu pos pengamatan gunung api, saksi kedahsyatan letusan Gunung Merapi di 2010.

Namanya Yulianto, Pengamat Gunung Api yang sudah dari tahun 1992 bertugas di Pos Pengamatan Gunungapi Merapi Babadan, Dusun 2, Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Seakan sudah menyatu dengan gunung yang dijaganya, pria ini memiliki kebanggaan menjaga masyarakat dari bahaya gunung api meski harus bekerja di tempat sepi yang jauh dari pemukiman.

“Menjadi kebanggan tersendiri sebagai Pengamat Gunung Api, bisa memberi informasi dan peringatan kepada warga sekitar sehingga tidak jatuh korban. Dari tahun 2000-an, kemudian 2001, 2006, dan yang terakhir agak berbeda di 2010 alhamdulillah bisa memberikan informasi yang didengar warga sekitar,” tuturnya bangga.

Ia mengaku seakan memanggul beban ketika bencana 2010 datang. Letak Pos Babadan berjarak sekitar 4,4 kilometer arah barat laut dari puncak Merapi,

“Meski di pos ini relatif aman, dua hal selalu saya pikirkan siang malam, kondisi gunung dan juga masyarakat. Hari itu pos yang ada di dusun terdekat dengan puncak juga dikosongkan. Kita pindah ke Balai Desa Krinjing berada di bawah Pos Babadan berjarak sekitar 6,5 kilometer dari puncak Merapi. Informasi terus kita berikan kepada masyarakat,” kisah Yulianto.

Pria yang keluarganya ada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) – 2 di Desa Tlogolele, Selo, kabupaten Boyolali ini mengaku mencintai gunung sejak kecil dan bekerja sebagai Pengamat Gunung Api sudah menjadi panggilan hatinya.

“Saat masih anak-anak, saya sering diajak Bapak bertugas di Pos Pengamatan Babadan maupun di Pos Jrakah. Sempat saya mencari kerja yang lainnya tapi tidak sreg. Pas ada pembukaan sebagai Pengamat Gunung Api di tahun 1992 saya merasa itulah panggilan saya,” kenangnya.

Peristiwa letusan Merapi di tahun 2010 menjadi kenangan tersendiri buat Yulianto. Hewan-hewan turun dari gunung, banyak kera berkeliaran, tidak pernah menyangka akan meletus sehebat itu.

“Dan susah sekali untuk mendapat momen letusannya, saat itu hasil kamera hitam, alat-alat juga menjadi tak berfungsi di saat detik-detik letusan, setelahnya normal. Seakan Merapi tidak mau didokumentasikan saat ia meletus hebat,” pungkasnya.

Gejala letusan besar Gunung Merapi telah muncul pada tahun 2009, ditandai dengan terjadinya gempa vulkanik. Selain itu, terjadi pula perubahan deformasi pada tubuh Gunung Merapi. Tanggal 20 Oktober waktu itu aktivitas gempanya sudah sangat tinggi, mencapai ratusan kali sehari, pengembangannya sudah mencapai 10 cm perhari.

Status Awas pun ditetapkan pada 25 Oktober 2010. Erupsi pun dimulai 26 Oktober 2010, dan diikuti letusan-letusan yang lebih eksplosif. Pada 3 November 2010, awan panas mulai muncul. Sehari setelahnya, gempa tremor overscale terjadi terus menerus, serta terjadi peningkatan massa SO2 di udara mencapai lebih dari 100 kiloton.

Puncaknya pada 5 November 2010, kubah lava runtuh dan mengakibatkan awan panas mencapai 15 kilometer dari puncak gunung, meluncur ke arah Kali Gendol. Ketika itu, radius aman ditetapkan sejauh 20 kilometer dari puncak gunung, karena erupsi terus menerus dan peningkatan jumlah SO2 di udara. Sehari kemudian, gempa tremor masih berlangsung, massa SO2 mencapai puncaknya, yakni 250-300 kiloton. (ist)