Derai air hujan mulai membasahi bumi Nusantara sejak pekan pertama bulan November 2024 ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam website resminya mencatat hampir setiap hari menerima laporan terjadinya bencana banjir dari berbagai daerah.
Ini sesuai dengan prediksi Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam laporan setebal 300 halaman pada Oktober 2024 yang bertajuk “Prediksi Musim Hujan 2024/2025 di Indonesia”.
BMKG memperkirakan puncak musim hujan terjadi pada November 2024 hingga Desember 2024 sebagai dampak umum dari fenomena alam La Nina yang cenderung menyebabkan kondisi yang lebih basah di Indonesia meski dampaknya bervariasi di tiap daerah.
Awal musim hujan di Indonesia bervariasi, dimulai dari wilayah barat Sumatra yang memasuki musim hujan lebih awal pada Agustus 2024, kemudian secara bertahap menyebar ke wilayah timur hingga Desember 2024.
Dampak lain dari dimulainya rangkaian La Nina yang menyebabkan curah hujan tinggi adalah munculnya berbagai penyakit. Utamanya yang selalu terjadi kala musim hujan, salah satunya adalah Demam Berdarah Dengue (DBD) yang menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia. Tingkat prevalensinya cukup tinggi dan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2023 menyebutkan, terdapat 114.720 kasus dengan 894 kematian. Sedangkan hingga minggu ke-43 di 2024, Kemenkes melaporkan adanya 210.644 kasus dengan 1.239 kematian akibat DBD yang terjadi pada 259 kabupaten/kota di 32 provinsi dengan suspek pada periode serupa telah mencapai 624.194 suspek.
Meningkatnya angka kasus DBD termasuk kematiannya pada 2024 terjadi tidak hanya di daerah endemik saja. Beberapa daerah yang sebelumnya diketahui bebas DBD pun turut mengalami dan penyebab utamanya adalah lantaran perubahan iklim. Hal tersebut diungkapkan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dr. Yudhi Pramono seperti dikutip dari website resmi Kemenkes.
Selama 2024, terdapat 462 kabupaten/kota yang terjangkiti DBD atau wilayahnya mengalami perluasan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan telah terjadi pemendekan siklus tahunan, dari semula tiap 10 tahun menjadi 3 tahun atau kurang.
“Untuk regional ASEAN saat ini, telah dilaporkan ada kurang lebih 219 ribu kasus, dengan 774 kematian, dan Indonesia sendiri adalah penyumbang terbanyak dari kasus dengue tersebut,” kata Yudhi.
Kemenkes, kata Yudhi, telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kejadian luar biasa akibat DBD. Salah satu upaya tersebut, yakni mengupayakan terus budaya pemberantasan sarang nyamuk dengan mewujudkan terlaksananya gerakan satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik).
Program tersebut juga bertujuan untuk mencegah membiaknya nyamuk, terutama jentik yang menjadikan sudut-sudut rumah sebagai lokasi berkembang.
Meningkatnya kasus DBD turut diakui oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, dr. Ina Agustina. Kemenkes, lanjutnya, telah menyiapkan 6 strategi nasional jangka pendek 2021–2025 untuk penanggulangan wabah DBD yang di antaranya berupa penguatan manajemen vektor yang efektif, aman, dan berkesinambungan.
Kemudian peningkatan akses dan mutu tatalaksana dengue yang dibarengi penguatan surveilans DBD yang komprehensif serta manajemen KLB yang responsif.
Selain itu peningkatan pelibatan masyarakat secara berkesinambungan serta penguatan komitmen pemerintah dengan kebijakan manajemen program, dan kemitraan. Terakhir adalah pengembangan kajian, invensi, inovasi, dan riset sebagai dasar kebijakan dan manajemen program berbasis bukti.
Saat ini dua vaksin DBD yakni Dengvaxia dan Qdenga telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI. Tetapi yang tak kalah penting dari semua upaya pengendalian penyebaran DBD di wilayah masing-masing adalah partisipasi aktif masyarakat serta dukungan semua pihak agar dapat terlaksana dengan baik. (indonesia.go.id)