Wajah Madinah di Baiturrahman
PERISTIWA SENI BUDAYA

Wajah Madinah di Baiturrahman

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi paling barat dari Indonesia dan letaknya di ujung utara Pulau Sumatra. Di provinsi berjuluk Sueramo Mekah atau Serambi Mekah tersebut terdapat sebuah masjid negara tepat di jantung Banda Aceh, pusat pemerintahan NAD. Namanya Masjid Raya Baiturrahman dan menjadi sebuah ikon pariwisata terkenal di Banda Aceh.

Bangunan utama masjid itu memiliki luas 4.000 meter persegi dan mampu menampung 13 ribu jamaah sebelum pandemi. Ketika musibah gempa berkekuatan 9 skala Richter diikuti terjangan gelombang tsunami setinggi 20 meter hingga memasuki pusat kota pada 26 Desember 2004 sekitar pukul 09.00 WIB, rumah ibadah umat Islam ini menjadi salah satu tempat warga kota berlindung.

Kala itu ribuan warga selamat karena berlarian menuju bagian dalam masjid meski ribuan lainnya tak beruntung dan meninggal dunia. Tidak sedikit dari jasad mereka ditemukan berada di halaman depan masjid berkalang lumpur dan sampah termasuk bangkai kendaraan bermotor.

Cerita pilu hampir 17 tahun itu perlahan sudah mulai bisa diterima masyarakat Aceh. Begitu juga bagi masjid yang berdiri di atas lahan seluas 3 hektare berlokasi di Jl Muhammad Jam nomor 1, Desa Baru, Kecamatan Baiturrahman tersebut. Dengan cepat masjid ini bersolek dan kembali menjadi kebanggaan warganya sebagai salah satu tempat ibadah terbesar di Sumatra.

Hampir 11 tahun setelah peristiwa gempa dan tsunami atau tepatnya pada 28 Juli 2015, pemerintah setempat melakukan pembenahan pada lanskap dan infrastruktur masjid dengan melibatkan BUMN konstruksi, PT Waskita Karya.

Sebuah bangunan bawah tanah dibuat sebagai lokasi parkir kendaraan pengunjung dan jamaah berkapasitas 100 kendaraan roda empat dan sekitar 200 roda dua. Letaknya tepat mengelilingi bagian bawah Tugu Aceh Daerah Modal, sebuah menara setinggi 51 meter di sisi timur bangunan utama masjid.

Tepat di bagian tengah bangunan bawah tanah ini terdapat koridor berkaca sebagai penghubung para pengunjung berkendaraan pribadi menuju pelataran masjid. Sebagian dindingnya terbuat dari kaca dan sebagian besar lainnya dilapis keramik mengkilat ditambah ornamen penghias warna emas.

Dekat pintu masuknya terdapat loker penitipan barang dan alas kaki. Koridor berlantai keramik putih dan hitam ini memanjang sekira 200 meter. Ada dua titik untuk tempat berwudhu bergaya modern dengan lantai dan tembok beronamen marmer. Di ujung koridor terdapat tangga beserta eskalator untuk mebawa kita ke pelataran timur dan selatan masjid.

Penataan juga menyentuh lantai halaman depan dari semula hamparan rumput berganti rupa menjadi marmer putih. Hamparan rumput hijau tetap dipertahankan di sebagian sisi terutama mengelilingi kolam di tengah halaman. Di antara rumput hijau tadi ikut ditanam tumbuhan berbunga cantik aneka warna, ada merah, putih, dan kuning. Semula kolam ini dibentengi oleh pagar besi di sekelilingnya sehingga menghadirkan kesan kaku.

Tetapi ketika renovasi dilakukan, pagar-pagar besi itu dibongkar dan perannya sebagai benteng kolam tergantikan oleh kehadiran rumput hijau dan aneka tanaman hias. Ini membuat suasana sekitar kolam menjadi lebih segar. Keindahan kolam bertambah dengan air mancur menari dengan sorot lampu warna-warni dari dasar kolam.

Di halaman juga terpasang 12 payung raksasa, masing-masing enam di sisi selatan dan enam lainnya di utara. Pengerjaan pemasangannya dilakukan November 2016. Payung-payung senilai Rp10 miliar per unit ini dipasang dengan jarak antartiang sekitar 10 meter.

Dapat dibuka-tutup mirip cara kerja payung seperti yang kita pakai. Hanya bedanya, dikarenakan oleh postur besarnya, payung-payung tadi digerakkan secara elektrik, dalam tiga menit sudah terkembang.

Proses buka-tutup payung pun berlangsung sangat sunyi, tidak terdengar suara mesin elektriknya. Teknologi payung elektrik ini diciptakan arsitek asal Jerman Mahmoud Bodo Rasch. Payung-payung ini berbahan dasar kain terpal berserat sintetis khusus jenis polytetrafluoroethylene (PTFE). Kain ini tahan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, antiapi, dan elastis. Kain jenis ini juga efektif menyerap cahaya matahari dan membuat sekitarnya menjadi lebih teduh.

Kain warna putih dengan motif emas pada tepi dan bagian bawahnya ini menjadi daya tarik baru masjid. Terutama ketika sedang dikembangkan, bentangannya mencapai lebar 14 meter. Saat dibentangkan secara bersamaan akan memunculkan kanopi raksasa seolah saling bersambung dan menciptakan siluet unik pada permukaan lantai. Cukup untuk membuat teduh area di sekitarnya ketika mentari bersinar sangat terik.

Ini membuat banyak pengunjung memilih duduk berteduh di bawah payung raksasa buah keahlian Rasch. Tak sedikit dari mereka mengabadikan foto ketika payung terbentang menjulang setinggi 20 meter dari permukaan lantai. Agar mampu berdiri kokoh, payung ditopang oleh tonggak baja berkelir putih berdiameter dua meter setinggi 15 meter dan lima meter di atasnya berupa rangka penyangga kain-kain payung dengan ukuran besi lebih kecil.

Di antara batas penyangga kain dan tonggak diberi ukiran warna emas dan pada keempat sisi tonggak terdapat ornamen lampu penerang saat malam. Cahaya lampunya bisa berganti-ganti warna, kadang ungu, hijau, atau kuning dan sangat terang, cukup untuk menyinari kawasan sekitarnya. Ketika payung sedang dikuncupkan, bentuknya mirip menara masjid.

Masjid Raya bukan lokasi pertama terpasangnya payung raksasa ini di Indonesia. Karena Masjid Agung Jawa Tengah dan Masjid Muammar Qadaffy di Sentul, Jawa Barat, juga telah lebih dulu memasangnya. Dalam jumlah yang jauh lebih banyak, mencapai 250 buah, payung-payung elektrik Rasch ini sudah memasangnya terlebih dulu di Masjid Nabawi, Kota Madinah, Arab Saudi.

Sejarah Masjid Raya
Masjid Raya Baiturrahman didirikan pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada 1022 Hijriah atau 1612 Masehi. Masjid ini menjadi saksi sejarah kehidupan rakyat Aceh, dan pusat pendidikan umat Islam sekaligus simbol agama, budaya, jiwa, ketangguhan, dan perjuangan masyarakat Aceh.

Namun, seperti dikutip dari buku Secret Trades, Porous Borders: Smuggling and States Along a Southeast Asian Frontier, 1865-1915, karya peneliti sejarah Asia Tenggara dari Cornell University, Eric Tagliacozzo pada 2007, masjid ini pernah terbakar habis.

Ini semua terjadi ketika berlangsungnya agresi oleh pasukan Hindia Belanda pada 10 April 1873 ke daratan Aceh dipimpin Johan Harmen Rudolf Kohler. Pembakaran masjid itu memantik kemarahan rakyat dan menyebabkan perang.

Empat tahun berselang, Gubernur Jenderal Van Lansnerge menawarkan upaya membangun kembali masjid pada 9 Oktober 1879. Arsitek Gerrit Bruins diperintahkan untuk membuat desainnya yang kemudian dikembangkan LP Luijks, mengadopsi gaya arsitektur Mughal yang banyak berkembang di Asia Selatan dan Asia Tengah dengan ciri kubah bulat besar mirip bawang, menara ramping di sudut, gerbang berkubah besar dan hiasan halus. Gaya arsitektur seperti ini juga dapat dilihat pada Taj Mahal di India.

Masjid ini rampung dibangun pada 27 Desember 1881 saat Muhammad Daud Syah, sultan terakhir Aceh yang berkuasa. Saat itu, baru terdapat sebuah kubah dan satu menara. Kemudian kubah dan menara bertambah pada 1935, 1958, dan 1982 sehingga membuat masjid ini memiliki tujuh kubah dan empat menara.

Sedangkan menara kelima bentuknya berupa Tugu Aceh Daerah Modal didirikan semasa Aceh dipimpin Gubernur Ibrahim Hasan pada 1991. Kata “daerah modal” merupakan julukan yang diberikan Presiden RI Pertama, Sukarno kepada Aceh, untuk mengenang peran penting masyarakat Serambi Mekah di masa kemerdekaan. Dari tugu tujuh lantai ini kita bisa memandang pusat kota dari ketinggian. (indonesia.go.id)