“Kebaikan itu berbeda dengan virus, ketika tertular maka kita harus menularkannya supaya menjadi benih yang tumbuh subur dan dapat kita tuai kelak,” celetuk Wahyu Setyo Putro pada Minggu (09/08).
Saat ditemui di Rumah Sakit Lapangan Indrapura Surabaya, Wahyu tampak mengenakan kemeja putih, celana panjang, dan sneaker layaknya millenial. Ia merupakan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (Sasindo) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) angkatan 2017.
Semenjak berkuliah di Surabaya, kepekaan Wahyu terhadap masayarakat telah terlatih. Di kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta, ia mulai belajar banyak hal, utamanya kemanusiaan. Bermula dari hal itu, Wahyu mulai bertekad untuk membantu sesama.
“Tahun 2018 saya pertama kali terjun menjadi relawan di gempa dan tsunami Palu. Itu adalah momen yang sangat berkesan, selanjutnya saya mulai aktif menjadi relawan bencana hingga pencarian orang hilang di Gunung Arjuna,” ungkap pemuda asal Kabupaten Rembang itu.
Sedari Juni 2020, Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) merupakan tempat Wahyu berkembang dan menuangkan seluruh energi muda untuk membantu sesama di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Bagi Wahyu, memilih menjadi relawan merupakan bagian dari histori hidupnya.
Namun, tak dapat dimungkiri bahwa jiwa sosialnya yang tinggi itu pernah berdampak pada keberlangsungan akademis. Dari pengakuannya, Wahyu pernah ketinggalan ujian semester karena menjadi relawan bencana.
“Alhamdulillah diberi kesempatan ujian susulan, saya yakin itu berkah dari Allah atas kegiatan yang saya ikuti,” ujarnya sambil tersenyum.
Diketahui, saat ini Wahyu menjadi relawan di RS Lapangan Indrapura Surabaya, dirinya dipercaya sebagai wakil koordinator pendamping pasien. Lalu, pada April 2020, ia bersama teman-temannya mendirikan kelompok donasi bernama Ksatria Swadaya Pangan yang ditujukan untuk mahasiswa perantau yang terjebak di Surabaya.
“Imbas pandemi ini dirasakan oleh semua orang, mulai kehilangan pekerjaan, usaha yang merugi, hingga kehilangan keluarga karena Covid-19. Mirisnya beredarnya hoax juga berakibat pada stigmatisasi masayarakat pada penyintas Covid dan tenaga medis,” jelas pemuda 21 tahun itu.
Dari permasalahan tersebut, Wahyu menyadari bahwa edukasi dan pendampingan untuk masyarakat sangat penting. Sebagai mahasiswa Sasindo, ia menerapkan ilmu retorikanya untuk mengedukasi dan mempersuasi pasien hingga masayarakat agar melepaskan stigma yang ada.
Pengalaman paling berkesan selama menjadi relawan ia dapatkan ketika di Lombok, yakni pasca gempa. Ia melihat trauma pada anak-anak yang ditemui, hal itu berakibat pada ketakutan dan kepanikan yang tampak di wajah mereka.
Menurut keterangannya, ketika hendak pulang ia disuguhi tangisan anak-anak yang membuatnya tidak tega. Alhasil, Wahyu memutuskan untuk me-reschedule tiketnya dan mendampingi anak-anak tersebut hingga traumanya reda.
“Saat itu luar biasa menakutkan, karena terjadi gempa susulan yang cukup lama hingga listrik padam,” terang Wahyu yang hobi mendaki gunung itu.
Bagi Wahyu menjadi relawan bukan alasan untuk melupakan perkuliahan, melainkan menjadi ajang untuk mengaplikasikan ilmu selama kuliah dengan terjun pada masyarakat. “Jadilah alasan untuk orang lain tersenyum, kebaikan bukanlah kelemahan, tapi kekuatan luar biasa dalam hati yang tulus. Buatlah Tuhan mu tersenyum atas kebaikan yang kamu lakukan,” pungkas Wahyu. (ita)