Upaya Tekan Kekerasan Perempuan-Anak
KOMUNITAS PERISTIWA

Upaya Tekan Kekerasan Perempuan-Anak

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melakukan sosialisasi program Kampunge Arek Suroboyo Ramah Perempuan dan Anak (KAS-RPA) di lantai 4 Gedung Siola, Rabu (17/05) dan dihadiri oleh perwakilan 29 kecamatan se-Surabaya.

Koordinator Tim KAS-RPA Kota Surabaya, Martadi mengatakan, program tersebut merupakan bagian dari terjemahan Surabaya Kota Responsif Gender juga sebagai Kota Layak Anak (KLA).

Dalam kesempatan ini, ia menjelaskan alasan program KAS-RPA disosialisasikan kepada 29 kecamatan di Surabaya. Yakni untuk meningkatkan pemberdayaan di kelurahan dan kecamatan yang belum maksimal menggerakkan program KAS-RPA, agar lebih responsif menangani masalah yang melibatkan perempuan dan anak. “Kalau kita ingin menyebut kota itu layak anak, ya di kecamatan sampai dengan kelurahan juga harus layak anak,” kata Martadi.

Martadi menyampaikan, program ini bukan untuk perlombaan antar kampung, akan tetapi dijalankan secara berkelanjutan untuk memberikan pendampingan terhadap perempuan dan anak.

Maka dari itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB), turut melibatkan mahasiswa serta lembaga perlindungan dan anak untuk memberikan bimbingan di 29 kecamatan yang belum maksimal menerapkan responsif gender dan layak anak.

“Jadi yang kami undang dalam sosialisasi ini adalah kecamatan yang kampung-kampungnya kurang maksimal atau belum tersentuh program ini,” Martadi menyampaikan.

Martadi menargetkan, di tahun 2023 seluruh kampung di Surabaya sudah tersentuh seluruhnya dalam menerapkan responsif gender dan layak anak. Indikator kampung tersebut bisa disebut responsif gender yaitu, sudah ada kebijakan dari kelurahan dan kecamatan mengenai program KAS-RPA.

Sedangkan yang kedua, adanya sumber daya manusia (SDM) yang menangani persoalan responsif gender dan layak anak. Ketiga, ketersediaan sarana dan prasarana serta alokasi dana penunjang untuk kampung responsif gender dan layak anak.

Tak hanya itu, yang keempat adalah data permasalahan gender dan anak yang terjadi di suatu kampung. Dan kelima yakni program riil yang diterapkan di lapangan dalam menangani permasalahan gender dan layak anak.

“Agar program ini berjalan maksimal, kami bersama pemkot memberikan ruang kepada mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat ke dalam program ini. Setelah kita rekrut, akan dibekali mengenai program ini agar sama persepsinya dengan program ini secara berkelanjutan. Kalau hanya mengandalkan jajaran DP3A-PPKB tentu akan kurang maksimal,” papar Martadi.

Martadi berharap, mengatasi persoalan responsif gender dan anak ini bisa terus dilakukan di Surabaya. Semakin kompleksnya persoalan kasus kekerasan perempuan dan anak di perkotaan, dirinya ingin kasus-kasus tersebut bisa ditangani secara berkelanjutan dan tidak menunggu saat terjadi permasalahan.

“Oleh karena itu harus dibangun mulai dari hulu ke hilir, juga diimbangi dengan kegiatan-kegiatan preventif di perkampungan untuk menekan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tandasnya. (ita)