Transformasi ekonomi dimulai pada tahun 2020-2024 untuk memberikan landasan kokoh menuju Indonesia Maju. Untuk itu, Pemerintah menyusun strategi guna mendorong pertumbuhan ekonomi di tahun 2024.
Hal tersebut diungkapkan Staf Khusus Presiden, Arif Budimanta, saat menjelaskan mengenai, “National Economic Update,” di Wisma Negara, Komplek Istana Kepresidenan, Provinsi DKI Jakarta, Senin (10/2).
“Pertama, mendorong belanja pemerintah yang berpotensi menstimulus konsumsi masyarakat seperti penyaluran dana desa dengan skema 40;40:20, penyaluran bantuan pembiayaan KUR, MEKAAR, UlaMM, Umi, Pembelian produk dalam negeri, dan program padat karya,” kata Arif.
Strategi kedua, menurut Arif, yakni optimalisasi bauran kebijakan fiskal dan moneter dalam mendorong daya beli masyarakat. “Tiga, mendorong pembagian dividen interim perusahaan besar dan BUMN. Empat, menjaga stabilitas administration price dan harga pangan,” tambahnya.
Yang kelima, menurut Arif, memanfaatkan momentum omnibus law untuk mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja. Terakhir, Arif menyampaikan yakni relaksasi kebijakan makroprudensial dalam mendorong pertumbuhan kredit. “Rata-rata pertumbuhan 2015-2045 yaitu PDB Riil 5,7% sedangkan PDB Rill per kapita 5,0%. Tahun 2045 ditargetkan menjadi negara maju dan PDB terbesar ke-5 (USD 7,4 triliun) dan peranan KTI menjadi 25%,” tambahnya.
Secara keseluruhan, lanjut Arief, perekonomian Indonesia sebenarnya dengan pertumbuhan 5,02% bisa dikatakan relatif baik. “Tentunya 5,02 ini bukan pertumbuhan yang alamiah semata, tetapi ini adalah suatu pertumbuhan yang memang pertama, dia berkualitas, kemudian ia digerakan oleh bauran kebijakan yang menggerakan sektor riil,” tambahnya.
Ekspor di tahun 2019, menurut Arief, secara volume naik mendekati angkanya kurang lebih 10% atau tepatnya 9,82%. Jadi ekspor non-migas, sambung arief, secara keseluruhan sebenarnya mengalami peningkatan dari sisi volume terutama terkait dengan sawit ataupun batubara.
Yang menjadi kendala, tambah Arief, nilai harga komoditi yang kontraksinya cukup dalam, seperti batubara turun kurang lebih sekitar 27% kalau kita bandingkan 2019 dengan 2018, maupun CPO yang turun sekitar 6% year on year.
“Hal ini lah yang kemudian menyebabkan secara nilai, ekspor kita itu mengalami kontraksi -,86%. Jadi minusnya ini lebih karena aspek cyclical,” jelasnya.
Usahanya, tambah Arief, sudah maksimal ditunjukan dengan volume yang semakin tinggi ya mendekati 1 digit 10%, tapi memang secara cyclical menghadapi situasi super cycle daripada komoditi yang keadaannya pada saat ini adalah keadaannya sedang menurun atau tertekan harganya.
Inilah, lanjut Arief, yang mengakibatkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi walaupun secara volume meningkat pertumbuhan ekspornya yang non-migas, tetapi secara nilai karena ada kontraksi terhadap harga-harga komoditas, terutama batubara dan CPO, maka kemudian berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Impor saat ini, lanjut Arief, didominasi oleh bahan baku penolong dan masih di atas 70%, sehingga Presiden Joko Widodo selalu mengarahkan kebijakan-kebijakan perekonomian nasional kita agar terkait misalnya dalam pengembangan kemudahan sektor berusaha, penanaman modal baik yang sifatnya direct dari luar negeri ataupun di dalam negeri.
Kebijakan pertama, menurut Arief adalah menghasilkan produk-produk yang menghasilkan devisa, kemudian yang kedua substitusi impor terutama substitusi impor yang terkait dengan bahan baku penolong ya.
“Bahan baku dan penolong contohnya apa yang sangat serius dikerjakan oleh pemerintah dan seperti apa yang diarahkan oleh Presiden kalau kita lihat beberapa minggu yang lalu Presiden meresmikan extended operation (peningkatan capacity dari suatu industri petrochemical di Banten),” tambahnya.
Ia menegaskan kebijakan terkait penanaman modal yakni menghasilkan devisa bagi negara, kemudian yang kedua substitusi impor, dan ketiga adalah job creation yang banyak sekaligus juga melibatkan usaha kecil menengah maupun koperasi dalam konteks supply chain.
Strategi lain, menurut Arief, misalnya salah satu yang dikembangkan adalah pengembangan-pengembangan kawasan ekonomi khusus.
“Karena pengembangan kawasan ekonomi khusus semuanya diarahkan untuk pengembangan nilai tambah dari industri, apakah itu di Sei Mangke misalnya contoh ataupun misalnya kawasan ekonomi khusus yang dikembangkan di Kalimantan Timur. Itu juga diarahkan untuk pengembangan petrokimia,” jelas Arief.
Ini, lanjut Arief, adalah strategi dari transformasi ekonomi, sehingga kemudian ketergantungan terhadap fluktuasi harga komoditi itu kemudian semakin berkurang, karena kemudian value added-nya ada di dalam negeri.
Beberapa faktor eksternal ataupun internal yang akan mempengaruhi terhadap perekonomian secara nasional pada tahun 2019 ataupun 2020, sebagai berikut faktor eksternal, aspek pendukung yaitu suku bunga yang relatif rendah di banyak negara maju dan membaiknya harga komoditas.
“Risiko yang muncul: melambatnya perekonomian mitra dagang, lemahnya aktivitas perdagangan dan investasi global, ketegangan AS-Iran, perang dagang AS-China belum mereda, Brexit, dan Wabah Virus Corona,” jelasnya.
Sedangkan untuk faktor internal, menurut Arief, aspek pendorong yakni stabilitas politik pasca pemilu legislatif dan pilpres, penurunan suku bunga acuan (B17DRR) dari 6% ke 5% dalam periode tahun 2019, inflasi terkendali dan berada pada level 2,72% (YOY), nilai tukar rupiah yang menguat, peningkatan fokus yang cukup besar pada hal SDM, R&D, serta infrastruktur, dan Omnibus Law.
“Risiko dari faktor internal yakni kemungkinan terjadinya El-Nino atau La Nina serta potensi keterlambatan peraturan turunan dan Omnibus Law,” pungkas Arief. (sak)