Naik-turunnya kurva pandemi sudah terjadi. Kasus infeksi baru sudah melandai. Toh, Presiden Joko Widodo perlu mewanti-wanti bahwa virus Covid-19 tidak mungkin hilang sepenuhnya.
“Kita harus menyampaikan bersama-sama pada masyarakat, kepada rakyat, bahwa Covid-19 ini tidak mungkin hilang secara total. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan,” kata Presiden Jokowi ketika mengantar rapat kabinet evaluasi PPKM, Senin (06/09).
Pesan tersebut perlu disampaikan, kata Presiden Jokowi, supaya tidak terjadi euforia yang berlebih ketika kurva pandemi melandai. Masyarakat harus bisa menyadari bahwa Covid-19 selalu mengintai. “Varian Delta selalu mengintip kita. Begitu lengah, bisa naik lagi,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, dengan mengutip pesan Presiden Jokowi, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, virus Covid-19 tak akan serta-merta hilang dalam waktu yang pendek. “Kita perlu menyiapkan diri untuk hidup bersama Covid-19, karena pandemi ini akan berubah jadi endemi,” ujarnya, dalam konferensi pers virtual, tak seberapa lama setelah rapat kabinet usai.
Wacana pandemi berganti jadi endemi itu tidak hanya bergema di Indonesia. Narasi serupa muncul di hampir semua negara. Dalam dunia kesehatan, pandemi adalah kondisi ketika penyakit menular sudah menyebar luas, melintasi batas-batas negara, dan mengancam warga planet bumi.
Pada saat penyakit menular hanya berjangkit di satu wilayah ia disebut endemi. Saat ia bergerak menjangkiti sejumlah wilayah ia berkembang menjadi epidemi, dan ujungnya ialah pandemi.
Dalam epidemi dan pandemi selalu ada sumber penularan yang berasal dari luar. Agen penularnya bisa berupa hewan atau material lain, tempat kuman penyakit bisa menumpang hidup sementara waktu, semisal pada nyamuk malaria atau nyamuk demam berdarah atau bisa juga manusia. Pada kondisi endemi, sumber penularan sudah ada dan menetap di daerah setempat.
Bibit penyakit bisa saja tumbuh bermutasi menjadi agak berbeda dari daerah asal, lantaran proses adaptasi dengan habitat yang baru. Pada 1920-an, satu tim peneliti dari Sekolah Kedokteran Stovia Batavia menemukan kasus malaria di daerah pegunungan di Cianjur.
Rupanya, ada nyamuk Anopheles varian gunung yang juga dapat menjadi host bagi kuman parasit Malaria yang terbawa dari dataran rendah Batavia.
Nyamuk gunung ini menggigit orang berpenyakit malaria yang mudik ke Cianjur. Kuman dari darah pasien terbawa ke tubuh nyamuk, dan ia menularkannya ketika menggigit ke orang yang berbeda. Wabah pun meluas jangkauannya.
Dalam konteks endemi Covid-19, sebagaimana disebut Menko Luhut Pandjaitan, ancaman penularan tidak lagi harus dari orang luar, melalui tamu mancanegara, turis asing, atau arus mudik lebaran. Ia menghuni secara tetap di satu wilayah.
Virus Covid-19 telanjur tak akan hilang karena menumpang hidup dari satu ke orang lain, tanpa harus selalu menunjukkan gejala klinis secara dini.
Pandangan optimistik menyatakan, cukup banyak orang yang akan mendapatkan perlindungan oleh kekebalan dari vaksinasi atau infeksi alamiah, sehingga mereka akan lebih sedikit menularkan, lebih sedikit menjalani rawat inap, dan menghadapi kematian terkait Covid-19, meski virus ini terus beredar. Risiko yang dihadapi menyusut. Ancaman endemi juga bisa dikelola.
Vaksinasi
Situasi Covid-19 berbeda dari virus severe acute respiratory syndrome (SARS) 2003 di Guangdong, Tiongkok, dan Ebola 2014 di Afrika Barat. Dengan masa inkubasi yang cepat dan gejala klinis yang khas, SARS dan Ebola cepat dikenali dan diisolasi.
Gejala Covid-19 awalnya mirip flu biasa, sehingga baru disadari ancamannya saat ia sudah menyebar ke mana-mana. Covid-19 ini memberi pelajaran akan pentingnya kerja sama internasional yang lebih intens untuk deteksi dini.
Dunia kedokteran mencatat sejarah pahit terkait pandemi virus yang menyerang organ pernafasan, seperti Flu Spanyol 1918. Ketika itu nyaris tak ada perlindungan medis bagi masyarakat dunia.
Virus lenyap 1919 setelah ia menghadapi dunia yang sudah memiliki kekebalan komunal (herd imunnity) yang terbentuk secara alamiah akibat luasnya kasus infeksi. Namun, jatuh korban jiwa 20–50 juta untuk sampai pada herd imunnity itu.
Pandemi Flu Asia pada kurun 1957–1958, yang bermula dari Singapura, sempat meledak secara global, korban meninggal diperkirakan mencapai satu juta jiwa di seluruh dunia. Penyebaran virus H2N3 ketika itu sudah bisa ditahan dengan adanya vaksin dan obat antiviral.
Namun, di Amerika virus influenza itu terus bersirkulasi, bermutasi menjadi endemi virus H3N2, yang mengakibatkan ledakan besar pada 1968-1969. Vaksinasi antiinfluenza pun menjadi hal yang biasa bagi warga Amerika dan Eropa.
Memasuki 2004, dunia kesehatan dikejutkan dengan beredarnya Flu Burung (swine flu) H5N1 yang sangat mematikan. Meskipun sangat ganas, virus ini tak mudah menular. Dalam kurun 2004-2019 di seluruh dunia hanya ada 861 kasus dan menyebabkan 455 kematian.
Di Indonesia tercatat ada 200 kasus H5N1 dengan 168 kematian. Teknik baru pembuatan vaksin dan obat antiviral yang kini digunakan untuk penanggulangan Covid-19 sebagian dikembangkan dari kasus SARS, Ebola, dan Flu Burung.
Pandemi Covid-19 kini meledak di seluruh dunia, dengan 222 juta kasus infeksi dan 4,59 juta korban jiwa, justru terjadi lantaran penderita tidak serta-merta mengalami gejala klinis yang parah seperti pada SARS, Ebola, atau Flu Burung. Sebelum penderita mengalami sesak nafas dan harus menjalani perawatan, mereka sempat ke sana-kemari menularkan virusnya. Ledakan besar terjadi.
Para pakar sulit meramalkan kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Beberapa negara menetapkan zero Covid-19, tapi banyak lainnya yang kesulitan mengontrol insidensinya dan mengakses vaksin juga obat.
Para pakar mendesak vaksinasi secepatnya, karena akan memerlukan waktu lebih panjang dan korban lebih besar bila mengandalkan imunitas alamiah (acquired immunity). Bahkan sebuah negara kesulitan untuk terbebas dari pandemi, bila negara sekelilingnya tidak bebas pandemi.
Strategi Indonesia
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pun mengakui, sulit memastikan kapan pandemi akan berakhir. Tidak ada jaminan pandemi bisa ditekan ke titik nol. Namun, Menkes mengatakan, aktivitas masyarakat tidak harus berhenti.
Pandemi Covid-19 ini disrupsi yang mengubah perilaku masyarakat dalam beraktivitas. “Kita harus dapat beradaptasi dan pemerintah sedang siapkan strateginya,” ujar Budi Gunadi Sadikin.
Menurut Budi Gunadi, ada tiga komponen dalam strategi yang sedang disiapkan. Pertama adalah deteksi dan pengobatan; kedua membangun imunitas masyarakat dengan vaksinasi; yang ketiga perubahan perilaku.
Strategi deteksi dan pengobatan itu meliputi tracing, testing, dan treatment. Tracing dan testing itu pada intinya menemukan orang-orang yang positif terinfeksi Covid-19, lantas melacak orang yang berpotensi tertular untuk menjalani testing. Bila positif dilacak lagi siapa yang mungkin tertular dan seterusnya. Mereka yang positif diisolasi dan dirawat.
Yang kedua ialah vaksinasi. Targetnya, sampai akhir 2021, atau paling lambat awal 2022 ada 208 juta penduduk menjalani vaksinasi lengkap dua dosis, agar terbangun herd imunnity nasional. Namun, seperti terbukti di banyak negara, termasuk Indonesia, vaksin tak sepenuhnya melindungi, meski efektif mengurangi risiko. Maka, perubahan perilaku menuju sehat perlu dilakukan.
Dalam perubahan perilaku itu, prokes memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M) terus dilakukan. Berikutnya ialah memanfaatkan teknologi digital, untuk berbagai layanan dengan tujuan mengurangi mobilitas atau melakukan kegiatan secara aman. Di antaranya dengan aplikasi PeduliLindungi.
Ada pun pemanfaatan teknologi digital untuk mengurangi mobilitas itu bisa dilakukan pada sektor perdagangan, manajemen kantor, pendidikan, dan pengaturan lain terkait transportasi, restoran, pariwisata, olahraga, seni pertunjukan, kegiatan keagamaan, dan sejumlah lainnya. (indonesia.go.id)