Sejarah Melayang dengan Bioavtur
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Sejarah Melayang dengan Bioavtur

Indonesia tengah melakukan pelbagai upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan rendah emisi karbon. Salah satu bentuk energi terbarukan yang tengah dikembangkan adalah bahan bakar nabati (BBN).

BBN adalah energi yang terdiri atas bahan bakar minyak, seperti biodisel atau bioetanol yang dicampur dengan minyak nabati murni. BBN diklaim menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada BBM fosil.

Oleh karena itu, mulai Januari 2022, pemerintah menerapkan program B30. Melalui program itu, pemerintah mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dan 70 persen bahan bakar jenis solar sehingga menghasilkan produk yang dkenal dengan nama biosolar B30.

Ketentuan kewajiban B30 untuk biosolar tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 12 tahun 2015 yang mengubah Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Selain itu, untuk mendorong penggunaan bahan bakar non-fosil pada sektor penerbangan, pemerintah bersama sejumlah lembaga mengembangkan energi terbarukan lainnya bernama bioavtur. Penggunaan bioavtur dinilai dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor penerbangan.

Tentu ada pertanyaan, apa itu bioavtur? Bioavtur merupakan bahan bakar pesawat yang dibuat dari campuran avtur dan kelapa sawit 2,4 persen. Bioavtur jenis ini diharapkan bisa menurunkan emisi karbon sektor transportasi.

Nah, pada Jumat (27/10) Pertamina dan Garuda Indonesia berhasil melaksanakan penerbangan komersial perdana berbahan bakar ramah lingkungan, Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau Bioavtur. Penerbangan komersial itu menggunakan pesawat Boeing PK GFX Seri 727-800 dari Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang) menuju Bandara Adi Soemarmo (Surakarta), dan kembali ke Jakarta.

Berkaitan dengan kesuksesan penggunaan bioavtur itu, Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution menjelaskan, penerbangan khusus ini akan menjadi tonggak sejarah di industri aviasi yang berkelanjutan. Masyarakat juga akan merasakan pengalaman baru, merasakan pemanfaatan energi terbarukan dan berkontribusi secara langsung pada penurunan emisi.

“Pertamina memiliki komitmen untuk mendukung tercapainya target NZE (net zero emission) Pemerintah Indonesia dengan mengembangkan roadmap aset dekarbonisasi dan pembangunan green business, termasuk SAF (sustainable aviation fuel) untuk sektor aviasi,” ujarnya di acara tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, pihaknya melakukan penerbangan komersial pertama dengan beberapa penumpang dari Soekarno-Hatta menuju Adi Soemarmo. “Kita berhasil gunakan biofuel untuk penerbangan komersial. Ini bentuk keseriusan kami. Kami berharap Garuda Indonesia dipersepsikan sebagai perusahaan yang mengedepankan keberlanjutan dan masa depan anak cucu kita,” jelas Irfan dalam sambutannya pada acara ceremonial flight tersebut.

Dalam rangka pengembangan bahan bakar yang berkelanjutan di industri penerbangan, isu itu telah lama berkembang. Beberapa maskapai penerbangan global kini juga tengah mengejar NZE di industri tersebut.

Bahkan, asosiasi maskapai penerbangan internasional (IATA) telah menetapkan elemen penting di industri bagi pengurangan zat karbon sebagai upaya industri itu selalu peduli terhadap keselamatan lingkungan.

Dalam konteks pengembangan bioavtur di Indonesia, Pertamina memulai inisiasi sustainable aviation fuel (SAF) sejak 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina, dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis.

Pada 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi co-processing dari bahan baku refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas, dan bau dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari.

Melalui kolaborasi dengan stakeholder terkait, produk SAF tersebut kemudian melalui serangkaian uji coba pada mesin pesawat dan unit pesawat. Rangkaian pengujian dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia.

Dalam pengujian selanjutnya, produk SAF itu juga diujicobakan ke pesawat komersial milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 pada pesawat Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia dan terakhir terhadap pesawat Boeing PK GFX Seri 727-800. “Kami mengapresiasi para stakeholder yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan rangkaian pengujian produk SAF. Joy flight ini merupakan salah satu milestone terpenting dalam implementasi SAF di Indonesia ke depannya,” tambah Alfian.

Dia berharap semua kegiatan dapat terlaksana dengan lancar dan juga memberikan manfaat bagi segala pihak serta menjadi bukti nyata komitmen Indonesia untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat.

Sebagai informasi, pengembangan produk SAF merupakan kolaborasi Dirjen EBTKE dan tim peneliti ITB sebagai koordinator, Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) sebagai sponsor rangkaian kegiatan, dan Garuda Indonesia sebagai penyedia unit pesawat. Produk Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) nantinya akan dipasarkan dan didistribusikan melalui subholding PT Pertamina Patra Niaga.

Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional. Hal tersebut merupakan jawaban atas komitmen Pertamina dalam penyediaan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan, dan telah dipergunakan untuk commercial flight tersebut.

Harapannya, kelahiran produk SAF itu bukan yang terakhir. Nantinya, program inovasi dan pengembangan SAF itu terus digenjot sehingga persentase penggunaan bahan nabati semakin bertambah sehingga tujuan pengurangan emisi karbon di industri penerbangan tercapai. (indonesia.go.id)