Berbagi hampers merupakan salah satu budaya yang lekat dengan perayaan Idulfitri atau lebaran. Bukan hanya sekedar berbagi bingkisan, rupanya budaya tersebut memiliki sejarah, perkembangan, dan makna yang mendalam.
Menurut dosen Sejarah Universitas Airlangga Moordiati SS MHum, budaya berbagi bingkisan sudah ada sejak zaman kolonialisme. Namun, tentunya terdapat berbagai perubahan, baik dari sisi istilah, bentuk, dan makna yang terkandung dalam budaya tersebut.
Pada zaman kolonialisme Belanda, budaya berbagi bingkisan hanya melibatkan kalangan tertentu. Moordiati menyebutkan penyebabnya adalah ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang terjadi pada saat itu.
Bahkan, budaya tersebut tidak populer pada zaman pendudukan Jepang yang terkenal dengan kekejamannya, sehingga fokus masyarakat adalah melawan kesulitan kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, berbagi bingkisan masih tidak populer pada masa pemerintahan Soekarno. Namun, masyarakat luas kemudian mulai melakukan budaya tersebut sejak tahun 1980-an dengan istilah berbagi parsel. Pada saat itu, parsel berisi makanan khas lebaran.
“Awalnya memang makanan, tetapi kemudian isi parsel berubah seiring perkembangan zaman. Ada yang pakaian, barang pecah belah seperti cangkir, dan bunga,” terang Moordiati, Selasa (02/04).
Pada tahun 2000-an budaya berbagi parsel semakin populer di berbagai kalangan masyarakat. Penggunaan istilahnya pun mulai bergeser menjadi hampers. Semakin populernya budaya hampers, tidak sedikit pelaku usaha yang menjadikannya sebagai produk jual beli yang telah dikemas dalam sebuah bingkisan.
Moordiati menyebut bahwa kepopuleran hampers menyebabkan penyalahgunaan di tengah masyarakat. Pada tahun 2005, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan peraturan bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk tidak menerima hampers lebaran.
Hal tersebut berkaitan dengan gratifikasi yang seringkali terjadi melalui media hampers. Hingga saat ini, peraturan tersebut masih berlaku sesuai dengan Surat Edaran (SE) KPK Nomor 1636IGTF.00.02/01/03/2024 mengenai Pencegahan dan Pengendalian Gratifikasi di Hari Raya.
Moordiati menjelaskan bahwa pada mulanya, berbagi hampers merupakan bentuk ucapan terima kasih dan balas budi kepada penerima. Namun, pada perkembangannya, makna hampers berubah menjadi wujud apresiasi dan penghargaan kepada orang lain, terutama selama perayaan-perayaan agama atau acara sosial. Makna tersebutlah yang menjadi tonggak awal budaya berbagi hamper saat lebaran.
Meskipun demikian, makna hampers telah berkembang menjadi simbol yang kompleks dalam masyarakat modern. Menurut Moordiati, hal tersebut terjadi seiring dengan perubahan budaya dan nilai-nilai sosial.
Kini, penggunaan hampers seringkali menjadi penanda status sosial, baik bagi pemberi maupun penerima. Pemberian hampers yang mewah atau eksklusif dapat menjadi cara untuk menunjukkan status atau kekayaan. Sementara itu, penerima hampers dapat menganggapnya sebagai pengakuan atas kedudukan sosial dalam masyarakat.
“Sekarang hampers dimaknai sebagai status sosial. Semakin tinggi nilai hampers yang diberi atau diterima, bisa menjadi penanda tingginya status sosial pula,” ungkapnya.
Dengan demikian, hamper tidak hanya menjadi simbol kedermawanan dan rasa terima kasih, melainkan juga mencerminkan dinamika kompleks dari struktur sosial dan budaya dalam masyarakat.
Praktik memberikan dan menerima hampers telah menjadi bagian dari ritual sosial dan perayaan, yang tidak hanya melibatkan pertukaran materi, tetapi juga melibatkan permainan status dan pengakuan dalam dinamika sosial yang lebih luas.(ita)