Beberapa hari terakhir, publik diramaikan oleh isu gempa besar yang bakal melanda wilayah pesisir selatan Jawa.
Dari catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ada sejumlah gempa besar yang terjadi di zona megathrust selatan Jawa. Penguatan struktural dan nonstruktural untuk mitigasi bencana di kawasan tersebut menjadi penting.
Pakar Geologi Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) Amien Widodo mengatakan, wilayah pesisir selatan Jawa Timur mulai dari Pacitan hingga Banyuwangi memang merupakan wilayah di zona megathrust. Sekitar wilayah tersebut tercatat ada beberapa kali gempa besar. Mulai dari magnitudo 7,0 hingga lebih dari 8,0.
Katalog gempa BMKG menyebutkan gempa besar dengan magnitudo antara 7,0 dan 7,9 yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi sebanyak delapan kali. Yaitu, pada 1903 (M 7,9), 1921 (M 7,5), 1937 (M 7,2), 1981 (M 7,0), 1994 (M 7,6), 2006 (M 7,8), dan 2009 (M 7,3).
Dari gempa besar itu, sempat terjadi tiga kali gempa atau lindu yang lebih dahsyat dengan magnitudo 8,0 atau lebih besar. Pusat gempa juga ada di zona megathrust selatan Jawa. Yaitu, pada 1780 (M 8,5), 1859 (M 8,5), dan 1943 (M 8,1).
BMKG pun belum lama ini menyampaikan hasil pemodelan gempa bumi dan tsunami yang kemungkinan bisa terjadi di Jawa Timur. Wilayah pantai selatan dari provinsi tersebut potensial terguncang gempa dengan magnitudo 8,7 bahkan dengan ancaman ketinggian gelombang tsunami mencapai 29 meter.
Mengantisipasi hal tersebut, tim Peneliti Sistem Peringatan Dini Gempa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, di bawah koordinasi Profesor Sunarno, siap memasang sepuluh stasiun pemantau gempa di sepanjang pesisir pulau Jawa.
Alat sistem peringatan dini gempa (early warning system) tersebut mampu memprediksi gempa tiga hari sebelum kejadian, sehingga bisa dilakukan mitigasi bencana secara lebih cepat.
“Pemantau EWS Gempa yang akan kami pasang sepanjang pulau Jawa sisi selatan untuk pengembangan algoritma triangulasi pusat gempa,” kata Sunarno.
Alat EWS tersebut, selain bisa memprediksi 3-7 hari sebelum kejadian gempa, namun juga dapat memperhitungkan prediksi lokasi pusat gempa.
Sunarno menjelaskan alat EWS ini masih dalam tahap pengembangan selain perbaikan penyempurnaan teknologi alat tersebut juga pengembangan algoritma penentuan pusat gempa yang akan terjadi.
“Setiap stasiun EWS yang kami pasang tetap mengukur setiap 5 menit perubahan permukaan air sumur dan paparan gas radon alam yang akan dibaca EWS kami,” ungkapnya.
Meski demikian, hingga saat ini kepekaan alat EWS Gempa ini hanya dapat memonitor kejadian gempa di atas 4,5 SR, di antara Aceh hingga NTT, untuk lempengan Indo-Australia. Namun, untuk dapat memantau di daerah dengan lempengan lain maka harus dipasang stasiun EWS di lempengan yang dipantau.
Alat EWS ini tersusun dari sejumlah komponen seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data, sumber daya listrik. Lalu, memanfaatkan teknologi internet of things (IoT) di dalamnya.
Mekanisme kerja alat ini dalam memprediksi gempa berdasarkan perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah yang merupakan anomali alam sebelum terjadinya gempa bumi.
Apabila akan terjadi gempa di lempengan, akan muncul fenomena paparan gas radon alam dari tanah meningkat secara signifikan. Demikian juga permukaan air tanah naik turun secara signifikan.
Penelitian yang sudah dilakukan sejak 2018 itu memang dikhususkan mengamati konsentrasi gas radon dan level air tanah sebelum gempa bumi. Pengamatan tersebut lalu dikembangkan, sehingga dirumuskan dalam algoritma prediksi sistem peringatan.
Bahkan, sistem terbukti mampu memprediksi gempa yang terjadi di Barat Bengkulu M 5,2 pada 28 Agustus 2020, Barat Daya Sumur-Banten M 5,3 pada 26 Agustus 2020, Barat Daya Bengkulu M5,1 pada 29 Agustus 2020, Barat Daya Sinabang Aceh M5,0 pada 1 September 2020.
Kemudian, gempa di Barat Daya Pacitan berkekuatan M 5,1 pada 10 September 2020, dan gempa Tenggara Nagan Raya-Aceh M 5,4 pada 14 September 2020. Terakhir, alat peringatan dini tersebut berhasil mendeteksi gempa di Toli-Toli tiga hari sebelum kejadian. Gempa itu sendiri terjadi pada Sabtu 29 Mei 2021.
Dari informasi BMKG, pada Sabtu 29 Mei 2021 pukul 08.25.14 WIB, wilayah Tolitoli diguncang gempa tektonik dengan magnitudo 5,3. Pusat gempa berlokasi di laut pada jarak 87 kilometer arah barat Kota Tolitoli, Sulawesi Tengah, pada kedalaman 27 kilometer.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta alat ini sudah mampu memprediksi 3-7 hari sebelum kejadian gempa. Meski berhasil memprediksi gempa, alat ini terus dikembangkan hingga mampu memprediksi posisi pusat gempa secara lebih presisi.
Sistem deteksi dini tersebut dikembangkan sebagai mekanisme membentuk kesiapsiagaan masyarakat, aparat, dan akademisi untuk mengurangi risiko bencana. Sebab, posisi Indonesia yang berada di tiga lempeng tektonik dunia rentan dilanda gempa bumi.
Alat EWS ini juga bisa menjadi rekomendasi sistem instrumentasi untuk peringatan dini gempa bumi dan memberikan pengetahuan bagi masyarakat mengenai prediksi gempa bumi sehingga selalu siap siaga menghadapi bencana gempa bumi. (indonesia.go.id)