Di Indonesia, penggunaan teknologi face recognition (pengenalan wajah) sangat luas seperti penggunaannya pada berbagai aplikasi forensik. Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anto Satriyo Nugroho mencatat beberapa hal terkait teknologi pengenalan wajah.
Teknologi ini sangat populer dimana publikasi yang terkait sangat banyak dibandingkan riset sidik jari atau riset lain yang sejenis. Selain itu, penggunaan teknologi ini diperlukan juga seperti untuk kebutuhan masuk peron di Stasiun Kereta Api atau program KTP elektronik.
“Terkait teknologi pengenalan wajah Itu demikian mudah dilakukan, hanya cukup pakai kamera sebagai sensornya dan datanya mudah untuk diambil,” kata Anto saat membuka kegiatan webinar PRKAKS Seri 5 bertajuk “Teknologi Pemadanan Wajah dan Aplikasinya : Dari Arkeologi Sampai Aplikasi Modern” pada Selasa (17/12).
Menurut Anto, umumnya pengenalan seorang itu memakai wajah bukan sidik jari atau iris-nya. Sehingga, banyak sekali implikasi mengenai teknologi pengenalan wajah yang menunjukkan betapa besar perhatian mengenai teknologi pengenalan wajah ini di dunia.
Berkenaan dengan hal tersebut, Anto menyebutkan banyak hal menarik yang bisa dilakukan dalam riset terkait pengenalan wajah. Salah satunya adalah wajah seseorang yang bisa banyak beragam tampilan mengingat wajah merupakan objek tiga dimensi.
“Terkait masalah penuaan atau aging yang terjadi pada wajah seseorang sehingga mengakibatkan transformasi wajah yang tidak random, itu menarik untuk dibuat model matematikanya. Termasuk kembar identik yang terjadi pada 3-4 dari seribu kelahiran adalah merupakan tantangan. Terlebih jika teknologi pengenalan wajah ini relatif mudah dipalsukan dibandingkan dengan sidik jari,” ujar Anto.
Penerapan pengenalan wajah pada arkeologi mempunyai tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan pengenalan wajah pada umumnya. Penggunaan pembelajaran mesin (machine learning), face detection, alignment, dan kondisi patung atau arca berpengaruh terhadap keberhasilan sistem pengenalan wajah.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber – BRIN Nova Hadi Lestriandoko memanfaatkan heritage biometrics sebagai pelestari budaya, penelitian sejarah, serta sebagai identitas manusia dari masa lalu dalam konteks forensik.
“Cabang biometrik ini berfokus pada identifikasi atau analisis sifat-sifat biologis dan budaya yang berkaitan dengan warisan sejarah atau budaya suatu populasi, komunitas, atau individu,” Nova menjelaskan.
Dia bersama tim melakukan penerapan risetnya pada pengenalan wajah untuk peninggalan-peninggalan purbakala, seperti patung-patung kekaisaran Romawi dan arca-arca candi di Indonesia. “Pengenalan wajah adalah teknologi yang menggunakan visual komputer untuk mengidentifikasi atau mengelompokkan orang dalam gambar atau video,” ia menegaskan.
Lebih lanjut Nova mengungkapkan, teknik yang digunakan pada pengenalan wajah adalah algoritma pembelajaran mesin dengan patung-patung sejarah yang memiliki representasi wajah manusia. Berdasarkan eksperimen, sistem pengenalan wajah berbasis deep learning masih dapat berjalan dengan baik pada patung atau arca yang masih memiliki representasi wajah manusia.
“Algoritma ini dapat dilatih untuk mengenali dan memetakan elemen wajah tertentu seperti posisi mata, hidung, dan mulut, lalu membandingkannya dengan data wajah yang ada untuk mengidentifikasi siapa tokoh yang digambarkan dalam patung tersebut,” katanya lagi.
Namun, Nova juga menyampaikan tantangan dalam riset ini yaitu keterbatasan informasi patung bila dibandingkan dengan manusia. Menurutnya, informasi detail pada wajah patung sangat terbatas, misalkan tekstur dan warna kulit, detil mata, warna rambut wajah dan alias, dan sebagainya. Belum lagi jika terdapat kerusakan pada patung sehingga menghilangkan sebagian besar informasi yang diperlukan untuk pengenalan wajah.
“Bahan patung yang bervariasi, seperti batu, marmer, perunggu, dan sebagainya juga akan memengaruhi. Terutama variasi tekstur dan warna permukaan patung,” ia menuturkan.
Selain itu, keterbatasan informasi pada patung menurut peneliti PRKAKS-BRIN tersebut, dapat menyebabkan kegagalan pada sistem pengenalan wajah mulai dari deteksi wajah, kegagalan dalam ekstraksi landmark wajah, kesalahan lokasi landmark wajah, dan akurasi pengenalan yang rendah. (rri)