Ditengah situasi ketidakpastian ekonomi yang kian meningkat, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bisa menjadi penyelamat jika kehadirannya dapat dimaksimalkan.
Indonesia mempunyai potensi basis ekonomi nasional yang kuat karena jumlah UMKM terutama usaha mikro yang sangat banyak dan daya serap tenaga kerja sangat besar.
Menurut data saat ini ada sekitar 64,5 juta UMKM di seluruh dan 9,78 juta di antaranya ada di Jawa Timur.
Tiap tahunnya sektor ini memberi kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi dan pengurangan jumlah pengangguran di Indonesia.
Berkaca hal tersebut, Selasa (12/09) PWI Jatim didukung Bank BNI Wilayah 06 Surabaya menggelar Focuss Group Discussion (FGD) bertajuk “Peran Bank Indonesia Dalam Mendorong Pengembangan UMKM”.
FGD menghadirkan narasumber Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim dan Advisor Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Timur, Muslimin Anwar.
Muslimin menuturkan, hingga tahun 2022 UMKM di Indonesia berkontribusi sebesar Rp7.034 triliun atau sekitar 60,5 persen terhadap PDB. Sedangkan di Jawa Timur kontribusinya sebesar Rp1.034,31 triliun atau sekitar 58,4 persen.
Sementara dari sisi penyerapan tenaga kerja sebesar 119,56 juta secara nasional dan 13,80 juta tenaga kerja di Jatim.
“Pengembangan UMKM masih menghadapi sejumlah tantangan seperti akses pembiayaan, korporatisasi dan kapasitas,” ujar Muslimin.
Untuk ekspor pun, produk UMKM juga masih menghadapi sejumlah tantangan seperti belum optimalnya pemenuhan kualitas, kuantitas dan kontinuitas, belum memerhatikan syarat sertifikasi produk negara tujuan, kemampuan bahasa asing yang terbatas, keterbatasa SDM, terbatasnya pemahaman UMKM mengenai market intelligence serta belum sesuainya brand image dengan trend konsumen di pasar ekspor.
Di era digitalisasi seperti sekarang, baru sekitar 25,5 persen UMKM yang memanfaatkan marketplace. Dan 77,7 persen UMKM mengalami kendala pemasaran online antara lain karena kurangnya pengetahuan, SDM dan keterbatasan infrastruktur.
“Karena itu Bank Indonesia mendorong perbankan untuk mendukung penguatan UMKM melalui berbagai regulasi,” ujarnya.
Dari sisi makroprudensial, Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit UMKM. Jika sebelumnya kredit UMKM dengan pangsa pasar sebesar minim 20 persen, sejak Juni 2023 ditingkatkan menjadi 25 persen dan akan kembali ditingkatan menjadi 30 persen mulai Juni 2024.
Kemudian dari sistem pembayaran, Bank Indonesia mendorong Digitalisasi UMKM melalui e-farming dan on boarding melalui e-commerce.
“Untuk pendukung sisi financing, BI meluncurkan Siapik yaitu aplikasi digital bagi UMKM untuk penyusunan laporan keuangan sebagai referensi bank dalam menganalisis kelayakan pembiayaan. Yang terakhir juga QRIS UMKM,” jelasnya.
Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim dalam kesempatan tersebut mengatakan, sampai saat ini sektor UMKM masih mengalami sedikit ketimpangan perhatian dari pemangku kebijakan terutama dalam porsi kredit dibanding dengan korporasi besar.
Diantara negara-negara tetangga lainnya, penyaluran kredit UMKM di Indonesia Masih sangat rendah, sekitar 20-21 persen dari total pembiayaan perbankan.
Jauh lebih rendah dibandingkan Singapura 39 persen, Thailand 50 persen, Malaysia 51 persen, Jepang 66 persen, Korsel 81 persen dan Australia 29 persen.
Ia berharap pihak terkait bisa meniru Korsel dalam membesarkan industri kecil dan kreatif di negaranya.
“Korsel berhasil menjadikan industri kecil menengah dan industri kreatif sebagai backbone perekonomian negaranya. Beberapa strategi yang mereka jalankan yaitu Smart SME’s, K brand, Inclusive companies program dan global colaboration. Keempat strategi itu membuat UMKM Korsel lebih kuat,” pungkasnya. (ita)