Pendidikan dan Banjir Dalam Buku Sejarah
KOMUNITAS PERISTIWA

Pendidikan dan Banjir Dalam Buku Sejarah

Alumnus Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) kembali mengabadikan buah kreativitasnya dalam bentuk buku. Kali ini giliran Moch Khozin bersama kawan baiknya semasa kuliah, Gita Ayu Cahyaningrum.

Keduanya berkolaborasi dalam menyusun buku berjudul Dua Sisi Lain: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan di Surabaya dan Sejarah Lingkungan di Madura Barat 1875-1942 yang diangkat dari skripsi mereka masing-masing.

“Kami mencoba memadukan dua pembahasan yang tidak saling bersinggungan. Saya membahas tentang pendidikan sementara Gita mengulas seputar lingkungan. Ide untuk membuat buku ini berasal dari saya,” terang Khozin.

“Namun, karena topik sejarah pendidikan sudah cukup umum dibahas maka saya menggandeng Gita guna memunculkan sesuatu yang baru. Kebetulan kan belum banyak orang yang tau bagaimana sejarah banjir itu,” imbuhnya.

Pemuda yang kini tengah menekuni bidang wirausaha ini menjelaskan, ketertarikannya dalam menulis sejarah pendidikan bermula dari skripsi miliknya yang membahas mengenai eksistensi dan kontribusi Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) terhadap pendidikan masyarakat di Kota Surabaya pada tahun 1916-1942.

Jika dikaitkan dengan situasi sekarang, posisi MULO setara dengan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Kalau sekarang, lulusan SMP dipandang sebelah mata. Ketika melanjutkan ke SMA baru bisa mendapat pekerjaan. Tapi MULO, bila dilihat dari bentuk kontribusinya, selain telah melahirkan sejumlah tokoh pergerakan nasional, juga memberi esempatan lulusannya mencari kerja. Sekaligus sebagai jembatan dalam meneruskan pendidikan lanjutan. Jadi relatif lebih menjanjikan bagi masyarakat kala itu,” ungkapnya.

Hal ini dikarenakan, pada awal abad ke-20, pendidikan lanjutan hanya tersedia di Hogere Burgerschool (HBS) dengan biaya yang cukup tinggi sebesar 15 gulden setiap bulan.

Lalu, MULO hadir menjawab kerisauan keluarga bumiputera yang menginginkan pendidikan lanjutan bagi anak-anak mereka dengan biaya 3.5 gulden. Selain itu, lulusan MULO juga bisa melanjutkan pendidikan ke HBS atau melamar kerja sebagai pegawai tingkat rendah.

Tidak jauh berbeda dengan Khozin, Gita pun terinspirasi dari skripsi miliknya. Yakni mengenai sejarah banjir di kawasan Madura barat pada tahun 1875-1942.

Perempuan kelahiran Gresik ini menuturkan jika pembahasan mengenai sejarah lingkungan terutama banjir masih terbilang baru. Dia memilih Madura barat karena kawasan tersebut merupakan pusat permukiman sekaligus muara banjir yang berlangsung hingga sekarang.

“Terjadinya banjir di Madura barat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti curah hujan yang tinggi, air sungai dengan volume besar, dan pendangkalan sungai. Sampai sekarang masih banjir walaupun sudah dilakukan pencegahan. Dilihat dari kondisi permukiman penduduk rata-rata memang tinggal di tepi sungai karena di sana minim air. Pada tulisan ini, pembahasan terfokus pada kondisi di era pemerintah kolonial,” tuturnya.

Menurut Gita, masyarakat pada masa tersebut berani mengajukan tuntutan kepada pemerintah kolonial Belanda sebagai upaya untuk mencegah banjir karena telah mengalami banyak kerugian.

Diantaranya, kerusakan areal persawahan dan permukiman serta penyebaran penyakit yang kian meluas di kalangan penduduk bumiputera. Penduduk Madura menilai jika pemerintah lokal kurang tanggap dengan kondisi yang ada.

“Pemerintah kolonial Belanda baru merespon peristiwa itu pada tahun 1922 dan segera menerjunkan tim Burgerlijke Openbare Werken (BOW) untuk melihat situasi. Pemerintah juga berupaya memberi bantuan melalui dana kesejahteraan masyarakat Madura. Namun ada beberapa rencana pemerintah kolonial Belanda yang tidak terealisasi, salah satunya karena kekurangan biaya,” imbuh dara yang kini menjajal profesi sebagai pengajar les itu.

Meski mengaku terkesan buru-buru, Khozin dan Gita mengaku tidak jera untuk menerbitkan tulisan lagi. Saat ini, mereka telah mempersiapkan sebuah bunga rampai yang tengah dikerjakan bersama kawan-kawan lain dari Ilmu Sejarah UNAIR.

Serta satu buku kolaborasi mereka berdua. Keduanya giat melakukan riset serta berencana untuk meminta saran kepada para dosen agar lebih matang saat menerbitkan karya selanjutnya.

“Dosen kami, yakni Pak Sarkawi serta Pak Purnawan memberikan apresiasi karena ini merupakan fondasi awal dalam berkarya. Tapi, keduanya menyarankan supaya tidak lupa sharing kepada dosen maupun orang-orang yang sudah berpengalaman dalam menerbitkan buku. Tujuannya agar substansi buku lebih matang. Kami berharap, teman-teman lain juga tidak takut untuk menyusun karya. Pasti ada jalan kok,” pungkas Gita. (ita)