Kabar baik seiring dengan Perayaan Hari Buruh Dunia 1 Mei dan Hari Raya Idulfitri 1443 Hijriah, pemerintah akhirnya resmi menerbitkan revisi aturan pelaksana program jaminan hari tua (JHT) pekerja.
Setelah pada Februari lalu, pemerintah mendengarkan masukan dari kalangan pekerja, pengusaha, akademisi, maupun lembaga/instansi terkait proses klaim manfaat jaminan hari tua dari iuran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Kebijakan tersebut sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, yakni agar pencairan JHT dibuat sederhana dan tidak menyulitkan pekerja yang mengalami PHK.
Dengan beleid baru itu, baik pemerintah, pengusaha, maupun pekerja/buruh dapat bersama-sama mewujudkan iklim ketenagakerjaan yang kondusif, sehingga dapat mendorong daya saing nasional.
Pada 26 April 2022, Menaker Ida Fauziyah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 4 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai revisi atas Permenaker nomor 2 tahun 2022.
“Penerbitan aturan yang bertujuan untuk menyederhanakan dan mempermudah proses klaim manfaat JHT ini telah melalui tahapan serap aspirasi publik secara luas,” ujar Menaker, dalam keterangan pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Kementerian Tenaga Kerja, Jumat (29/04).
Adapun sejumlah ketentuan yang diatur dalam Permenaker nomor 4 tahun 2022. Pertama, aturan ini mengembalikan ketentuan yang ada di Permenaker nomor 19 tahun 2015, terutama terkait klaim manfaat JHT bagi peserta yang mengundurkan diri dan peserta terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni manfaat JHT dapat diambil secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan.
“(Peserta yang mengundurkan diri atau terkena PHK) tidak perlu menunggu sampai usia 56 tahun untuk mengeklaim JHT,” jelas Menaker Ida.
Kedua, persyaratan klaim manfaat JHT yang lebih sederhana. Sebagai contoh, bagi peserta yang mencapai usia pensiun hanya diperlukan dua dokumen, yaitu kartu kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan KTP.
Sebelumnya, disyaratkan empat dokumen yaitu kartu kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, KTP, kartu keluarga, dan surat keterangan berhenti bekerja karena usia pensiun.
Ketiga, kemudahan dalam pengajuan klaim manfaat JHT, yaitu dokumen yang dilampirkan dapat berupa dokumen elektronik atau fotokopi, klaim dapat dilakukan secara daring/online, serta kemudahan dalam penyampaian bukti PHK.
“Dengan kemudahan ini, bukan berarti pengusaha dapat dengan leluasa melakukan PHK. Proses PHK harus tetap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” Menteri Ida menegaskan.
Di samping itu, Permenaker 4/2022 juga memuat sejumlah ketentuan baru, yaitu klaim manfaat JHT bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak serta klaim manfaat JHT bagi peserta Bukan Penerima Upah (BPU).
Selanjutnya, tertuang dalam beleid itu juga bahwa pembayaran manfaat JHT paling lama lima hari kerja sejak pengajuan dan persyaratan diterima secara lengkap dan benar oleh BPJS Ketenagakerjaan, serta pekerja tetap dapat mengajukan klaim manfaat JHT meskipun terdapat tunggakan pembayaran iuran JHT oleh pengusaha.
“Tunggakan iuran wajib ditagih oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada pengusaha. Jadi, hak pekerja/buruh atas manfaat JHT ini tidak akan hilang,” ujar Menaker.
Dengan terbitnya Permenaker 4/2022 ini, maka Permenaker 19/2015 dan Permenaker 2/2022 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Satu hal, menurut Menaker, dengan adanya Permenaker tersebut diharapkan semua pekerja tetap fokus dan produktif dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari, karena aturan JHT yang baru dipastikan sudah sesuai dengan harapan pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi memandang, Permenaker 4/2022 tersebut diterbitkan di waktu yang tepat dan menjadi kabar gembira bagi pekerja dan buruh.
“Memang dikeluarkan Permenaker ini tepat juga timing-nya, para pekerja yang ter-PHK lebih membutuhkan untuk kebutuhan lebaran juga,” ujar Ristadi, Rabu (28/04).
Tingkat Penghasilan Pensiun
Meski demikian, menurut Asisten Deputi Pengkajian Aktuaria BPJS Ketenagakerjaan Woro Ariyandini MKM, seperti dilansir dari Antaranews, tingkat penghasilan pensiun (TPP) pekerja Indonesia masih di bawah rata-rata standar Organisasi Buruh Sedunia (International Labour Organization/ILO).
Rekomendasi ILO menyebutkan, tingkat penghasilan pensiun atau replacement rate seseorang dapat hidup layak setelah masa pensiun minimal sebesar 40 persen dari penghasilan terakhir setelah 30 tahun berkontribusi.
Sebagai komparasi TPP di berbagai negara, dikutip dari buku Old Age Income Security in ASEAN Member States, disebutkan bahwa negara yang telah memiliki TPP di atas 40 persen, antara lain, Vietnam mencapai 60 persen dan Thailand 45 persen.
Mengacu data BPJS Ketenagakerjaan 2021, sebanyak 45 persen dari jumlah peserta yang mencairkan JHT berusia kurang dari 30 tahun, dengan saldo rata-rata Rp7,7 juta. Pada umumnya mereka memiliki masa kepesertaan kurang dari 5 tahun. Ketika pekerja tersebut bekerja kembali, maka kepesertaan JHT-nya kembali dari nol, sehingga dana JHT tidak terpupuk optimal.
Memang diakui kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan akibat dampak pandemi Covid-19 dua tahun terakhir belum pulih seutuhnya. Kebijakan pencairan JHT kembali ke filosofi usia 56 tahun, saat ini dipandang belum tepat oleh pekerja. Dana itu akhirnya dipakai menyambung hidup akibat terkena PHK.
Namun, seyogianya reformasi perlindungan hari tua dalam jangka menengah atau panjang perlu disiapkan untuk mengembalikan filosofi hari tua.
Memang tidak mudah, namun ketika Indonesia memasuki aging population (populasi tua) di tahun 2045, Program JHT dan JP dapat menjadi solusi mencegah usia lanjut jatuh ke jurang kemiskinan.
Klaim JHT sebagai tabungan wajib hari tua berfungsi sebagai jembatan (bridging) pemenuhan kebutuhan hidup di usia 56 sampai menerima manfaat jaminan pensiun (JP) sesuai usia penerima JP 65 tahun.
Hal tersebut mengingat usia harapan hidup yang makin meningkat tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar. Tingkat hasil pengelolaan iuran pekerja di BPJS Ketenagakerjaan juga tergantung pada tingkat kenaikan upah tahunan, inflasi, pertumbuhan ekonomi nasional, dan imbal hasil investasi.
Untuk itu perlu kesiapan semenjak dini agar pekerja di hari tua tidak terlunta-lunta dan menjadi beban keluarga, sosial, dan negara. Program JHT dan JP menjadi perlindungan berlapis bagi pekerja untuk memenuhi hidup layak di masa tua. (indonesia.go.id)