Pemberian Pajak pada Rokok Elektrik
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Pemberian Pajak pada Rokok Elektrik

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023. Peraturan ini menandakan bahwa produk-produk rokok elektrik seperti vape atau pod akan terkena pajak sebesar 10 persen. Peraturan ini berlaku mulai 1 Januari 2024.

Kebijakan ini sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok oleh masyarakat. Kebijakan ini menimbulkan bermacam reaksi dari berbagai kalangan. Tak ketinggalan, dr Kurnia Dwi Artanti MSc ikut menanggapi kebijakan ini.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) tersebut mengatakan bahwa dampak pemberian pajak tidak akan terasa secara langsung. “Pajak pada rokok elektrik sama dengan pajak pada rokok konvensional, tapi tidak menurunkan angka konsumsi rokok konvensional,” katanya.

Produk rokok elektrik dengan rokok konvensional tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Kedua produk ini sama-sama memiliki kandungan nikotin. Kandungan ini jika masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebabkan kecanduan.

“Rasa kecanduan ini yang akan menyebabkan seseorang terus merokok. Rasa kecanduan juga bisa mengalahkan harga, jadi berapapun harganya mereka akan tetap membeli,” jelasnya. Kendati demikian, dengan pemberian pajak yang berimbas pada harga jual, berpotensi menurunkan jumlah konsumsi harian.

Nia menerangkan bahwa ada alternatif lain yang bisa terlaksana untuk mengurangi angka penggunaan rokok. Alternatif tersebut adalah menggencarkan penegakan implementasi peraturan kawasan tanpa asap rokok.

Terdapat tujuh kawasan yang dapat terlaksana pada kawasan pendidikan, sarana kesehatan, transportasi umum, tempat bermain anak, tempat ibadah, sarana tempat kerja dan fasilitas umum lainnya. “Dengan adanya kawasan ini paling tidak membatasi perokok untuk merokok. Misal perokok tersebut bekerja pada sektor pendidikan, paling tidak selama bekerja ia harus berhenti merokok,” terangnya.

Saat ini merokok tidak hanya berkaitan dengan rokok konvensional saja. Tapi penggunaan rokok elektrik atau produk yang serupa dapat diartikan sebagai merokok. Sehingga kawasan tanpa asap rokok ini tidak hanya berlaku bagi rokok konvensional saja.

“Penggunaan rokok elektrik sudah masuk dalam terminologi merokok. Meskipun baunya tidak menyengat seperti rokok konvensional, tapi penggunaan rokok elektrik dan produk serupa tidak diperbolehkan dalam kawasan ini,” ungkapnya.

Nia berpesan kepada masyarakat untuk bijaksana dalam menanggapi kebijakan ini. Ia menegaskan bahwa asumsi rokok elektrik lebih aman adalah tidak benar. Rokok elektrik memiliki potensi bahaya yang tidak jauh berbeda. “Rokok elektrik sama berbahayanya dengan rokok konvensional. Solusinya adalah tidak merokok sama sekali,” tegasnya.

Sedangkan bagi pemerintah, Kurnia berharap hasil pajak yang terkumpul dapat bermanfaat untuk menurunkan konsumsi rokok pada masyarakat. “Pajak rokok harusnya bisa bermanfaat untuk menurunkan konsumsi rokok. Misal mengimplementasikan kawasan tanpa rokok, melakukan penegakan, hingga menggencarkan edukasi agar masyarakat lebih mengerti bahaya merokok. Hal tersebut harus terus berlangsung karena kondisi masyarakat kita juga beragam,” ujarnya. (ita)