Pameran Seni Rupa Indonesia di Europalia
SENI BUDAYA

Pameran Seni Rupa Indonesia di Europalia

Sebanyak 21 perupa dari Indonesia dan Eropa menampilkan karyanya dalam pameran bertema “Power and Other Things” di Festival Seni Internasional Europalia.

Pameran yang menampilkan karya seni rupa mulai dari periode 1835 hingga sekarang ini berlangsung sejak 17 Oktober 2017 sampai dengan 21 Januari 2018 di Galeri Seni Bozar, Brussels, Belgia.

Masa kolonialisme Belanda dan Jepang, kedudukan perempuan dan imigrasi adalah beberapa hal yang diangkat oleh para seniman untuk memberikan pemahaman mengenai Indonesia dari sisi kontemporer. Kurator pameran, Riksa Afiaty dan Charles Esche mengungkapkan, pameran diawali dengan karya tiga perupa abad ke-19 yakni Raden Saleh, Jan Toorop, dan Emiria Sunarsa.

Menurut Charles Esche, Raden Saleh adalah pelukis pertama Indonesia yang meninggalkan negaranya dan menerima pendidikan Eropa di Belanda. Kemudian kembali ke Indonesia untuk memahami identitas gandanya.

Di sisi lain, Jan Toorop adalah pelukis kelahiran Indonesia yang hijrah ke Belanda tetapi terus berhubungan dengan negaranya. Kemudian Emiria, setelah sempat tinggal di Brussels, menghabiskan seluruh hidupnya di Indonesia, memimpikan pendidikan yang lebih maju di Belanda.

“Dengan cara berbeda, seniman-seniman itu hidup dalam ketegangan kolonialisme, baik di Indonesia maupun di luar negeri,” ujar Charles Esche.

Lukisan dan sketsa yang dipamerkan merupakan koleksi Istana Kepresidenan, Galeri Nasional Indonesia, OHD Museum, Galeri Nasirun, dan S.Sudjojono Center.

Selain karya lukisan dan sketsa, pameran ini juga menampilkan karya instalasi baru dari para perupa lintas generasi Indonesia di antaranya FX Harsono, Agung Kurniawan, Mella Jaarsma, Saleh Husein, Maryanto, Antariksa, Dea Aulia Widyaevan, Leonardiansyah Allenda, Lifepatch, Timoteus Anggawan Kusno dan Octora Chan.

Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nadjamuddin Ramly menyampaikan, Pameran Power and Other Things sebagai rangkaian Festival Seni Europalia menjadi penting untuk menampilkan karya-karya para perupa Indonesia mulai dari modern hingga kontemporer.

Menurutnya, isu yang diangkat juga menarik, yakni bagaimana para perupa Indonesia baik yang modern hingga kontemporer memiliki posisi tawarnya masing-masing terhadap kolonialisme.

“Secara teknik, mereka juga sudah mumpuni jika disandingkan dengan para perupa Eropa. Artinya, para penikmat seni yang datang ke pameran ini akan disuguhkan betapa majunya perkembangan seni rupa Indonesia, sehingga pameran ini dapat menjadi ajang diplomasi budaya melalui karya-karya yang ditampilkan,” ujar Nadjamuddin.

Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia dalam hal ini berupaya maksimal untuk dapat memfasilitasi para perupa dan pekerja seni Indonesia untuk tampil di panggung internasional.

Harapannya, dengan proses ini terjadi saling pengertian baik antara negara penyelenggara (Belgia dan Indonesia), para seniman, kurator, galeri seni dan pihak terkait lainnya.

Kedepannya diharapkan seniman Indonesia bisa mendapatkan kesempatan lebih banyak lagi dalam ajang yang bergengsi di tingkat dunia, dan tentu saja agar pemerintah Indonesia bisa lebih siap untuk memfasilitasi seniman-seniman terbaik dari seluruh penjuru negeri.

Salah satu mata acara penting dalam rangkaian pameran Power and Other Things ini adalah simposium internasional bertajuk “Lupa Lupa Ingat: Imperial Zombies, Modern Vampires and Contemporart Ghosts” yang diselenggarakan di Royal Museum for Central Africa, Brussels, 19 Oktober 2017.

Simposium membahas sejarah konflik di Indonesia dan bagaimana kaitannya dengan sejarah pasca kolonialisme. Simposium akan menggali lebih dalam pemahaman mengenai seni modern dan kontemporer di Indonesia dan internasionalisasinya. (sak)