Akhir bulan lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengumumkan hasil pemodelan matematis yang dilakukannya guna memprediksi gempa dan tsunami terkuat dan terbesar yang mungkin menerpa Jawa Timur.
Hasilnya, gempa yang berpotensi mengguncang Jawa Timur adalah sekuat Magnitudo (M) 8,7 dan sangat mungkin diikuti tsunami setinggi 29 meter maksimal.
Melihat hal tersebut, Dr Ir Amien Widodo MSi, pakar geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) turut buka suara menanggapi. Menurutnya, pemodelan yang dilakukan BMKG merupakan langkah awal yang tepat.
Mengingat daerah Jawa Timur terbentuk karena adanya tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia, sehingga menjadi suatu keharusan untuk meneliti bab kegempaan di Jawa Timur. Pasalnya, BMKG bukan tanpa alasan menyebutkan skenario terburuk yang mungkin menimpa.
“Pemodelan ini menunjukkan worst scenario kemudian diumumkan, karena dalam lima bulan terakhir diketahui frekuensi gempa yang terjadi di Jawa Timur sangat tinggi,” ungkap dosen Departemen Teknik Geofisika itu. Tingginya intensitas terjadinya gempa ini patut dicurigai, belajar dari gempa besar Jogja pada 27 Mei 2006 silam.
Salah satu yang menjadi pertanda sebelum gempa Jogja itu terjadi adalah terekam aktivitas kegempaan yang semakin sering. Ketika itu, frekuensi gempa mengalami kenaikan, tetapi tidak lebih dari 50 gempa setiap bulannya. “Sementara itu, di lima bulan terakhir ini gempa yang terekam selalu lebih dari 500 kejadian per bulan,” jelas Amien.
Sangat jauh perbedaan frekuensi tahun 2006 lalu dengan tahun sekarang ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita jauh lebih waspada. Terlebih lagi, tambah Amien, tumbukan lempeng yang menyusun Jawa Timur ini jaraknya sekitar 250 sampai 300 kilometer ke garis pantai.
Hal itu menunjukkan gempa sangat mungkin terjadi di berbagai titik, di wilayah yang ada di sekitar zona subduksi, yakni zona tempat terjadinya tumbukan itu.
Pengamatan aktivitas gempa juga dilandaskan pada data seismik yang terukur, selain mengacu pada sejarah kegempaan. Meski menurut penelitian aktivitas seismik yang terekam selama ini tidak merata, tetapi menurut Amien, justru hal itu yang perlu dijadikan perhatian.
“Jika sewajarnya intensitas gempa di setiap titik zona subduksi adalah sama, tetapi ditemukan zona dengan gap seismic, artinya ada kemungkinan lempengan terkunci dan akan lepas sewaktu-waktu,” paparnya sederhana.
Di Indonesia, zona dengan gap seismic ditandai di sembilan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Salah satunya ada di Jawa Timur dekat dengan pulau Bali.
Jika daerah yang diperkirakan sedang mengalami kuncian antarlempengnya pada akhirnya lepas dan menyebabkan gempa yang besar, dihitung akan ada waktu 20 sampai 25 menit untuk air mencapai daratan mempertimbangkan jarak zona subduksi dari garis pantai.
“Belum lagi, jika gempa yang terjadi berkekuatan M 8,7, akan mendorong sesar-sesar di Jawa Timur sehingga tereaktivasi,” imbuhnya. Sesar yang tereaktivasi akan dapat menyebabkan gempa-gempa lain yang akibat dislokasi. Sedangkan, sesar-sesar tersebut melewati wilayah padat penduduk, seperti Banyuwangi, Probolinggo, Pasuruan, dan Surabaya.
Meskipun berkekuatan kecil, jika terjadi di daerah perkotaan maka akan sama membahayakannya. Amien menegaskan, gempa sejatinya tidak membunuh, tetapi dapat memicu likuifaksi, amplifikasi, longsor, dan tsunami, serta kerusakan pada infrastruktur.
Menurut sejarahnya, likuifaksi terparah di Jawa Timur pernah terjadi di daerah Lumajang. Maka dari itu, sangat ditekankan oleh Amien, supaya masyarakat kenal dengan macam bencana dan mitigasinya.
Bukan hanya gempa, melainkan juga prediksi tsunami dengan ketinggian 29 meter merupakan sesuatu yang sebaiknya diketahui lebih awal. Amien membuka catatan gempa dan tsunami yang pernah melanda Jawa Timur, juga menyebut bahwa tepat hari ini (3/6) di tahun 1994 pernah terjadi gempa sekuat M 7,8 dan menimbulkan tsunami setinggi 14 meter di Pancer, Banyuwangi.
Selain itu, dalam katalog tsunami BMKG tercatat bahwa tsunami pernah melanda pantai selatan Jawa Timur sebanyak tiga kali di tahun-tahun sebelumnya. Dengan waktu tempuh air untuk sampai ke daratan seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu selama 20 sampai 25 menit. Maka bila terjadi pertanda tsunami hanya ada waktu sekitar 20 menit bagi warga pesisir untuk menuju tempat yang lebih tinggi, setidaknya setinggi 20 meter.
“Penting edukasi terkait mitigasi yang dikenal dengan semboyan 20-20-20,” katanya mengingatkan. Hal itu supaya jika terjadi gempa terasa selama 20 detik, tanpa perlu menunggu air surut, segera menuju ke tempat dengan ketinggian minimal 20 meter, karena waktu yang ada hanya sekitar 20 menit.
Bab edukasi inilah, yang menurut Amien juga melandasi BMKG membeberkan kabar ini sekarang. Evaluasi dari gempa Malang beberapa waktu lalu, dengan skala kekuatan gempa sebesar M 6 saja membawa dampak kerusakan yang cukup luas. “Harus semakin tinggi kewaspadaan kita, jika Jawa Timur berpotensi alami gempa sampai kekuatan M 8,7,” tegasnya.
Peneliti dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS ini kemudian berpesan, supaya masyarakat tidak mengimbuhi rasa panik dan cemasnya, tetapi menambah kehati-hatian dengan mempersiapkan infrastruktur layak gempa dan edukasi lainnya.
“Tak terkecuali pemerintah harus mengupayakan sosialisasi terkait mitigasi, bukan lagi hanya pada wilayah kategori rawan bencana, tetapi seluruh daerah,” tandasnya.
Di akhir, Amien mengajak masyarakat berkaca pada tragedi gempa besar di Jepang. Menurut survei penelitian, dari total warga selamat, 35 persen masyarakatnya memiliki wawasan kebencanaan, 32 persen lainnya memiliki keluarga yang berwawasan sama, sedangkan 28 persen yang lain bertetangga dengan orang berpengetahuan soal bencana.
Jika edukasi terkait kebencanaan dan mitigasinya digencarkan, dari kacamata Amien, akan besar peluang untuk mengurangi jumlah korban jiwa akibat bencana hidrometeorologi seperti gempa dan tsunami. “Sembari melengkapi daerah dengan jalur evakuasi, kita harus mau mengedukasi diri agar siap siaga bermitigasi ketika bencana terjadi,” pesannya mengakhiri. (ita)