Optimistis Indonesia Jadi Hub Manufaktur ASEAN
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Optimistis Indonesia Jadi Hub Manufaktur ASEAN

Indonesia dinilai mampu menjadi hub manufaktur di tingkat ASEAN. Hal ini lantaran Indonesia masih menjadi negara tujuan utama untuk investasi, bahkan basis produksi bagi para produsen global untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik hingga ekspor.

“Oleh karena itu, pemerintah bertekad untuk terus menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memberikan kemudahan perizinan usaha dan insentif bagi industri,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (8/5).

Menperin menjelaskan, guna memacu kapasitas produksi di sektor manufaktur, diperlukan upaya untuk meningkatkan investasi. “Kami mengharapkan utilisasi dari kapasitas yang ada terus naik, karena dengan kapasitas yang lebih besar akan bisa mendorong ekspor ke pasar tradisional dan pasar baru yang potensial,” ujarnya.

Pada kuartal I tahun 2019, industri manufaktur memberikan kontribusi sebesar 22,7% dari total nilai investasi yang mencapai Rp 195,1 triliun, yang berasal dari penanaman modal asing maupun dalam negeri.

Guna menggenjot investasi di sektor industri, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberikan fasilitas insentif fiskal berupa tax holiday.

Airlangga optimistis Indonesia mampu menjadi pusat manufaktur di kawasan Asia Tenggara. Apalagi, beberapa sektor industri telah memiliki struktur industri yang dalam, mulai dari hulu sampai hilir. Misalnya, industri otomotif, tekstil dan pakaian, makanan dan minuman, logam dasar, dan kimia.

“Dalam waktu dekat, ada beberapa principal otomotif lagi yang bergabung dan akan menjadikan Indonesia sebagai hub manufaktur otomotif di wilayah Asia,” ungkap Airlangga.

Ia menyebutkan, potensi industri otomotif di Indonesia cukup besar, dengan jumlah produksi mobil yang mencapai 1,34 juta unit atau senilai 13,76 miliar dollar AS sepanjang tahun 2018. Saat ini, empat perusahaan otomotif besar telah menjadikan Indonesia sebagai rantai pasok global.

Bagi Indonesia, industri pengolahan masih memberikan kontribusi terbesar kepada struktur produk domestik bruto (PDB) hingga 20,07 persen pada triwulan I tahun 2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tersebut naik dibanding capaian sepanjang tahun 2018 sebesar 19,86 persen.

“Dari capaian 20 persen tersebut, laporan World Bank juga menunjukkan, Indonesia menempati peringkat kelima di antara negara G20,” kata Menperin.

Menurut Menperin, Indonesia hampir sejajar dengan Jerman, yang kontribusi sektor manufakturnya berada di angka 20,6 persen. Bahkan, menjadi yang tertinggi di Asean. Sementara itu, posisi teratas ditempati China (28,8%), disusul Korea Selatan (27%) dan Jepang (21%).

Saat ini, negara-negara industri lainnya di kancah global, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-rata sekitar 17 persen. Mereka itu antara lain Turki, Meksiko, India, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Brasil, Perancis, Kanada dan Inggris.

“Artinya, sekarang tidak ada negara di dunia yang bisa mencapai di atas 30 persen,” ujar Menperin.

Maka itu, lanjut Menperin, melalui sumbangsih sektor manufaktur yang cukup besar, tidak tepat kalau Indonesia dikatakan sebagai negara yang mengalami deindustrialisasi. “Apalagi, saat ini Indonesia masuk dalam 16 besar negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia,” imbuhnya.

Bahkan, melalui Making Indonesia 4.0, aspirasi besarnya adalah mewujudkan Indonesia masuk jajaran 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030.

“Kalau hasil studi PwC dan McKinsey, kita bisa masuk 7 besar ekonomi dunia di 2045. Targetnya, pada 100 tahun Indonesia merdeka nanti, kita bisa menjadi ekonomi ke-4 terbesar di dunia,” tutur Airlangga. (ist)