Kabar politisi sibuk memoles citra positif menjelang akhir masa jabatan menuai pendapat dari Jokhanan Kristiyono, pemerhati komunikasi politik dari Stikosa AWS. Katanya, pemolesan citra dalam politik sah-sah saja, tetapi jangan sampai mengorbankan masyarakat yang bingung memahami apa yang terjadi.
“Secara umum, penciptaan narasi positif ini hal yang wajar. Karena politisi berharap dapat menghindari kritik dari lawan politik atau media,” ungkapnya di Kampus Stikosa AWS, Kamis (17/10/2024).
Fenomena politisi yang memoles citra positif menjelang akhir masa jabatan, kata Jokhanan, kerap terjadi untuk menjaga atau menciptakan citra positif.
Dengan cara ini politisi berharap dapat mempertahankan basis pendukung yang sudah ada dan bahkan menarik simpati dari kelompok pemilih baru. Ini penting untuk menjaga pengaruh politik mereka, baik di masa jabatan saat ini maupun di masa depan.
Alasan lain, ini dilakukan untuk membangun legasi. Politisi ingin meninggalkan warisan positif selama menjabat. Dengan mempromosikan pencapaian dan program-program yang berhasil, mereka berharap dapat dikenang sebagai pemimpin yang sukses.
“Bagi politisi yang ingin melanjutkan karir politik, citra positif sangat penting untuk mendapatkan dukungan partai atau masyarakat dalam pemilihan berikutnya. Di sisi lain, citra yang baik dapat membuka peluang bagi politisi untuk mendapatkan posisi strategis di sektor swasta setelah pensiun dari dunia politik,” terang Jokhanan yang juga tercatat sebagai Ketua Stikosa AWS ini.
Dalam hal apapun, reputasi selalu menjadi hal yang penting. Kalkulasi sederhana, kata Jokhanan, semakin lemah tingkat popularitas seorang politisi, semakin besar kemungkinan ia akan melakukan upaya ekstra untuk memoles citra.
Hal lain, situasi politik yang dinamis dan kompetitif juga dapat mendorong politisi untuk lebih agresif dalam mempromosikan diri.
Kebingungan Masyarakat
Ketika reputasi dari politisi menurun, dan saat itu juga dia bekerja keras memoles citra di media berita dan media sosial, sebetulnya yang paling dikorbankan adalah masyarakat.
“Karena mereka akan kesulitan mencari jawaban, apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana membedakan antara upaya pemolesan citra yang manipulatif dan yang memang seharusnya. Apalagi jika aksi pemolesan merambah media mainstream,” kata Jokhanan.
Dalam kondisi demikian, ia pun mengingatkan bahwa literasi media selalu dibutuhkan. Apakah tindakan seorang politisi sejalan dengan pernyataan-pernyataan yang mereka sampaikan? Jika ada ketidaksesuaian yang signifikan, maka perlu dipertanyakan ketulusan upaya pemolesan citra mereka.
“Jangan hanya mengandalkan satu sumber informasi. Cobalah untuk mencari informasi dari berbagai media, termasuk media sosial dan laporan independen. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif,” tegas Jokhanan.
Inisiatif ini diperlukan agar masyarakat terbiasa melakukan analisis kritis terhadap sebuah klaim. Setiap klaim yang disampaikan oleh politisi perlu diuji kebenarannya. Periksa data, fakta, dan bukti yang mendukung klaim tersebut. Jangan mudah percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan.
Meski agak berisiko, membaca reaksi publik juga jadi jalan keluar. Bagaimana publik merespons upaya pemolesan citra tersebut? Apakah ada banyak pihak yang meragukan atau bahkan mengkritik? Reaksi publik bisa menjadi indikator yang cukup baik untuk menilai keaslian upaya tersebut.
“Lihatlah jejak rekam seorang politisi. Apakah mereka memiliki sejarah panjang dalam melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai-nilai yang mereka promosikan saat ini? Jejak rekam bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang karakter dan niat seseorang,” tutup Jokhanan.