Sekitar tahun 1415 masehi, armada laut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho dan Panglima Kun Wei Ping menancapkan jangkarnya di Muara Djati, yang kini berkembang menjadi Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat. Kapal mereka berlabuh di Muara Jati untuk membeli perbekalan, baik air bersih maupun pangan dari warga setempat dalam perjalanannya ke Majapahit.
Dari pergaulan antara armada Te Ho dan para tokoh sepuh Cirebon, Te Ho diajak bekerja sama membangun mercusuar di Muara Djati. Dalam proyek ini, Juru Labuhan Muara Djati, Ki Gedeng Jumajan Djati juga mengerahkan pekerja dari Majapahit. Menara mercusuar menjadi penanda penting bagi kapal-kapal yang akan merapat di pelabuhan ketika malam hari.
Semenjak kedatangan armada Tiongkok dan menara mercusuar berdiri, pelabuhan Muara Djati menjadi ramai. Banyak pedagang berjual beli dan berlabuh di pelabuhan. Silih berganti berdatangan orang Tiongkok, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, dan Palembang.
Cerita Muara Djati sebagai simpul perdagangan Nusantara dan pelayaran antarbangsa tertuang dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari. Naskah tersebut ditulis sekitar 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putra Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan Persekutuan Dagang Hindia Belanda (VOC) antara tahun 1706-1723.
Pada masa Pra-Islam, Cirebon masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Kala itu, kira-kira lima kilometer dari Kota Cirebon kini, di kaki bukit Amparan Jati, terdapat sebuah pedukuhan atau perkampungan yang dinamakan Pasambangan dengan bandar utamanya, yakni Muara Djati.
Seiring dengan tumbuhnya lalu lintas perdagangan rempah di Perairan Jawa, bandar Muara Djati pada waktu itu makin ramai dengan orang-orang yang berdagang. Kapal-kapal dari berbagai daerah berlabuh di bandar Muara Jati. Warga Dukuh Pasambangan pun semakin makmur.
Kendati pada masa itu Pelabuhan Cirebon belum ada, nama Muara Djati sudah dikenal dan menjadi salah satu simpul penting dalam lalu lintas di jalur rempah Nusantara.
Akulturasi budaya dari pelbagai suku dan bangsa di Muara Djati inilah membuat Cirebon pun memiliki beragam corak budaya. Pengaruh budaya Tiongkok dan Arab melengkapi kebudayaan masyarakat Cirebon sebagaimana tradisi daerah pesisir lainnya.
Posisi Cirebon, karena letak geografisnya di daerah pesisir Jawa, maka termasuk jalur perdagangan rempah Nusantara. Kedatangan kapal-kapal asing ke pelabuhan Muara Djati memperjelas keberadaan Cirebon dalam jalur perdagangan internasional.
Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon seperti Subang, Majalengka, dan Kuningan merupakan wilayah penyangga dengan tanah subur yang menghasilkan produksi pertanian dalam jumlah besar, seperti sayur-mayur, buah-buahan, macam-macam daging, serta padi. Dari produksi pertanian yang berasal dari daerah pedalaman ini, Cirebon menjadi pelabuhan yang ramai.
Seperti tersurat di dalam naskah Nagara Kertabumi bahwa barang-barang dagangan ekspor berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati mempunyai daya tukar yang tinggi sehingga menjadi komoditas andalan bagi Cirebon. Sedangkan komoditas impornya berupa logam besi, perak, emas, sutra, dan keramik halus.
Kota Cirebon mengalami perkembangan pesat saat dipimpin tokoh besar Syarif Hidayatullah atau biasa disebut Sunan Gunung Djati (1470 M). Ia merupakan cucu dari raja Siliwangi dari Pajajaran dan menantu Walangsungsang, seorang syahbandar Muara Djati.
Di bawah kepemimpinannya, Cirebon yang sudah masuk Islam memutuskan hubungan dengan Kerajaan Galuh yang masih Hindu. Sejak itulah, berdirilah kerajaan Islam Cirebon yang bercorak maritim.
Tidak hanya itu saja, Sunan Gunung Djati juga memperbaiki berbagai bangunan yang menunjang aktivitas perdagangan dan pelayaran. Di samping itu juga, dibangun semacam perbengkelan, baik untuk membuat atau memperbaiki perahu-perahu ukuran besar yang mengalami kerusakan.
Dengan demikian, pelabuhan itu bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh pedagang pribumi atau pedagang asing yang sudah banyak bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Keberadaan pelabuhan di pesisir wilayah Priangan Timur itu menjadi pemicu tumbuhnya pedukuhan-pedukuhan alias permukiman baru.
Setidaknya di wilayah tersebut ada tiga pelabuhan penting yaitu Pelabuhan Japura (Losari), Muara Djati (Cirebon), dan Cimanuk (Indramayu). Pelabuhan Japura yang dikepalai oleh Lebe Usa sudah ramai dikunjungi para pedagang sebelum Dukuh Losari berdiri.
Sebelum Desa Kebon Pesisir didirikan oleh Walangsungsang, Pelabuhan Muara Djati yang dipimpin oleh Ki Gedeng Jumajan Djati juga sudah mencapai kemapanannya. Demikian pula dengan Pelabuhan Cimanuk, lebih awal dipadati para pengunjung dari mancanegara sebelum Arya Wiralodra mendirikan Pedukuhan Cimanuk (sekarang Indramayu), termasuk Desa Babadan.
Era keemasan Muara Djati berlalu akibat pusat pelayaran bergeser ke Tanjung Priok di Batavia. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian membangunan kembali Pelabuhan Muara Djati pada 1865. Nama pelabuhan tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon. Infrastruktur pelabuhan diperluas dengan pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan. Saat itu Pelabuhan Cirebon masih berada dalam struktur organisasi Pelabuhan Semarang.
Setelah Indonesia Merdeka, Cirebon sejak 1957 berada di bawah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kemudian pada 1983 pelabuhan ini menjadi salah satu cabang pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation (IPC) yang berkantor pusat di Jakarta.
Ke depan, Pelabuhan Cirebon akan terus dikembangkan sebagai pelabuhan besar yang maju dan modern. Namun demikian, rekam jejak Cirebon di masa kejayaan jalur rempah Nusantara tak akan pudar. (indonesia.go.id)