Masyarakat di antero Nusantara pasti sudah mengenal akrab panganan yang disebut sebagai tempe. Berbahan baku kacang kedelai, tempe konon sudah ada di wilayah kepulauan ini sejak zaman era Jawa Kuno.
Di banyak suku di tanah air, kudapan kerap dianggap kurang lengkap jika tidak menyertakan tempe di dalamnya. Seiring dengan semakin banyaknya diaspora Indonesia, di berbagai belahan dunia, tempe pun menjadi semakin mengglobal.
Bila Anda pergi ke Eropa, kita tidak akan kesulitan untuk mendapatkan tempe. Anda cukup datang toko Asia, tempe pasti akan ditemukan di sana. Demikian pula di Asia Timur. Di Jepang, misalnya, tempe juga mudah ditemukan. Di negara itu bahkan kita dengan mudah menemukan produk tempe buatan Ristono.
Tentu pembaca ada yang pernah mendengar kisah sukses pengusaha tempe, Ristono, asal Grobogan, Jawa Tengah. Bisnis produksi tempe dengan merk dagang Rusto’s Tempeh itu bahkan kini sudah mendunia.
Dari Kyoto, Ristono kemudian berupaya bisa memenuhi kebutuhan pasar Jepang. Dan setelah sukses di kawasan tersebut, Ristono pun merambah pasar Korea Selatan. Kini, Rusto’s Tempeh sudah menembus pasar Meksiko, Brasil, dan Hungaria.
Keberadaan komoditas tempe yang kini sudah mendunia–tak hanya dikonsumsi masyarakat Indonesia–terkonfirmasi dari pernyataan Pembina Forum Tempe Indonesia Made Astawan. “Tempe saat ini sudah bisa ditemukan dan dikonsumsi di 27 negara,” ujarnya, seperti dikutip dari Antara, pada Sabtu (1/6/2024).
Seperti dikatakan di awal, panganan tempe telah menjadi panganan asli Indonesia, bahkan ada yang menyebutkan sejak zaman Jawa kuno, seperti disebutkan di Serat Centhini, buku kesusastraan Jawa di lima jilid pertama.
Dahulu, bagi orang asing, panganan tempe sebagai panganan yang menjijikkan. Mengapa begitu? Sebab dalam proses produksi tempe ada fase di mana kedelai harus dipisahkan antara kulit dan bijinya. Dalam tahapan itu, kedelai harus direndam, sebelum kemudian perajinnya akan menginjak-injak bahan panganan itu dengan kedua kaki agar kulit dan biji terpisah.
Namun kini, proses serupa itu sudah ditinggalkan. Kini, proses tersebut sudah dilakukan secara mekanis dan lebih higenis. Panjangnya sejarah tempe di tanah air itulah yang kemudian membuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengajukannya sebagai warisan budaya tak benda untuk kemanusiaan ke UNESCO.
Dikatakan Direktur Pelindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikburistek Judi Wajudin, pihaknya optimistis budaya tempe ini akan menambah daftar warisan budaya tak benda dari Indonesia yang ada di UNESCO. “Kita berdoa semoga dengan masuknya budaya tempe dalam daftar UNESCO itu dapat terus memberikan manfaat bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tapi dunia,” ujarnya, Sabtu (1/6/2024).
Terkait upaya untuk membuat tempe kian terkenal di dunia, baik lewat pengajuan ke UNESCO maupun promosi tempe sebagai makanan asli Indonesia dan makanan sehat, perlu didukung oleh semua pemangku kepentingan. Dalam rangka itulah, Forum Tempe Indonesia sebagai salah satu tim inisiator, berharap adanya seluruh dukungan masyarakat.
“Terlebih, tren vegetarian atau vegan juga semakin populer bersamaan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap pangan yang sehat,” kata Astawan.
Berkaitan proses pengajuan ke UNESCO, komunitas tempe Indonesia telah resmi mengajukan permohonan itu melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) ke Sekretariat UNESCO untuk masuk dalam kategori Daftar Representatif Warisan Budaya tak Benda untuk Kemanusiaan.
Pengajuan komoditas tempe sebagai Warisan Budaya tak Benda bagi Kemanusiaan telah dilakukan pada akhir Maret 2024. Pengajuan yang dilakukan Indonesia itu juga berpatokan dengan bunyi Konvensi UNESCO 2003.
Harapannya, pengajuan tempe sebagai Warisan Budaya tak Benda dunia itu disetujui. Sehingga, dapat menambah daftar Warisan Budaya tak Benda dari Indonesia yang ada di UNESCO. (indonesia.go.id)