Semenjak program Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diterapkan, pada 2014, perihal mutu layanan rawat inap di fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah dan swasta kerap menjadi persoalan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) menyusun Peta Jalan Infrastruktur Program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) untuk peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Kini KRIS sedang diujicobakan di lima rumah sakit pemerintah hingga akhir Juli 2022. BPJS Kesehatan berperan dalam mengelola pendaftaran, iuran dan menjamin biaya pelayanan kesehatan para peserta JKN, sekaligus memastikan mutu layanan secara optimal.
Lima rumah vertikal Kemenkes tersebut adalah RSUP Kariadi Semarang, RSUP Surakarta, RSUP Dr Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr Johannes Leimena Ambon, dan RSUP Dr Rivai Abdullah Palembang.
Uji coba itu utamanya melihat kesiapan rumah sakit dalam menerapkan sembilan sampai 12 kriteria KRIS yang sudah ditetapkan. Misalnya, ketersediaan tempat tidur maksimal empat dalam satu ruangan, standar ketersediaan tenaga kesehatan, dan standar suhu ruangan untuk meningkatkan standar pelayanan, keamanan dan kenyamanan bagi peserta.
“Kemenkes harus memastikan semua infrastruktur siap dan kita sudah bangun Peta Jalan infrastruktur KRIS,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR bersama BPJS Kesehatan di Jakarta, Senin (04/07).
Peta Jalan Infrastruktur KRIS, menurut Menkes Budi, merupakan upaya untuk menjalankan tiga substansi dari Kebutuhan Kesehatan Dasar (KDK). Di antaranya, semua intervensi kesehatan lebih besar untuk kegiatan promotif dan preventif, sehingga dari sisi biaya dan kualitas hidup masyarakat jauh lebih baik.
Selain itu, Kemenkes juga perlu memastikan layanan yang diberikan kepada peserta tidak berlebihan, sehingga berpotensi memicu kerugian keuangan atau fraud. “Karena akan mengurangi jatah sakit rakyat yang lainnya. Maka, semua layanan yang sifatnya fraud harus dikendalikan,” katanya.
Menkes Budi mengatakan, diperlukan penyesuaian sistem INA-CBGs sebagai aplikasi yang digunakan untuk pengajuan klaim rumah sakit maupun fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang mengedepankan prinsip keadilan.
Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar di muka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Kemenkes mendorong penyesuaian tarif kapitasi di FKTP agar besarannya sesuai dengan kondisi sekarang. Pasalnya, ada banyak tarif INA-CBGs yang perlu ditinjau kembali. Satu hal, Kemenkes juga mendorong agar kapitasi ke depan lebih berbasis kinerja.
Untuk penyesuaian klaim di rumah sakit, perlu dilakukan perbaikan sistem INA-CBGs berdasarkan perbedaan tingkat diagnosa, tingkat keparahan, dan jenis kategori tertentu seperti regionalisasi dan kelas rumah sakit.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan, penghapusan kelas rawat inap menjadi kelas rawat inap standar di rumah sakit membutuhkan proses dan tidak bisa tergesa-gesa.
Menurut dia, bagi rumah sakit pemerintah daerah untuk melakukan perubahan fisik bangunan, tentunya membutuhkan tahapan yang lebih lama, karena ada persetujuan dengan DPRD setempat.
BPJS Kesehatan memastikan, selama proses uji coba kelas standar, besaran iuran BPJS Kesehatan tak berubah meski pemerintah mulai menguji penerapan kelas standar di sejumlah rumah sakit.
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 tahun 2020 Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, iuran peserta kelas III ditetapkan sebesar Rp35 ribu per bulan mulai 1 Januari 2021 sampai sekarang. Kemudian, iuran peserta kelas II sebesar Rp100 ribu per bulan dan kelas I sebesar Rp150 ribu per bulan.
Seperti dilansir dari laman Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN), anggota DJSN Tono Rustiano menerapkan, kriteria yang disusun untuk penerapan KRIS bukanlah kriteria baru.
Kriteria tersebut nantinya akan diambil dari Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit-Ruang Rawat Inap, Permenkes nomor 24 tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit.
Tono menambahkan, semua hal yang menjadi kriteria adalah untuk kepentingan keselamatan pasien, baik dari bahan bangunan, ventilasi, pencahayaan, kontak percabangan, panggilan bagi perawat, nakas, suhu ruangan, ruangan per jenis kelamin, kepadatan ruang rawat, dan tirai.
“Di negara-negara lain KRIS sudah diterapkan misalnya di Kanada, di Jerman, Prancis, Thailand, Korea, Filipina, Australia, Singapura, Turki, dan Nigeria,” ujarnya.
Penerapan KRIS JKN bertujuan untuk menjalankan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas di Program JKN. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 (4) yang menyatakan bahwa jika peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit maka diberikan berdasarkan “kelas standar”.
Adapun maksud dari ekuitas di sini, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
Pihak DJSN menjelaskan, RSUP Surakarta menjadi RS vertikal yang relatif paling siap dan dapat menjadi model percontohan bagi implementasi KRIS.
Ditargetkan pada semester I- 2023, sebanyak 50 persen RS vertikal siap mengimplementasikan KRIS. Sementara itu, pada semester II-2023, diharapkan 100 persen RS vertikal dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Selain itu, pada waktu yang sama, 30 persen RS lainnya dalam hal ini RS umum daerah, RS TNI/Polri, dan RS swasta juga telah siap menerapkan KRIS. Selanjutnya, sampai Semester II-2024 seluruh RS sudah menerapkan KRIS. (indonesia.go.id)