Digitalisasi di semua sektor kini sudah menjadi keniscayaan, termasuk di dagang online (e-commerce). Ibarat cendawan di musim hujan pascapandemi, layanan e-commerce tumbuh pesat.
Situasi itu tentunya patut dibanggakan. Sebab itu berarti, ekonomi bergerak tak hanya secara konvensional, atau tatap muka, melainkan juga melalui skema daring.
Lesatan e-commerce atau bisnis berbasis online–yang juga dikenal dengan sebutan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE)—membuat pola bisnis konvensional, yakni melalui temu muka pedagang dan konsumen, sudah tak berlaku lagi.
Kini, semua aktivitas bisnis bisa diselesaikan melalui sebuah gadget atau PC (sistem elektronik). Walau begitu, sistem perdagangan berbasis elektronik ini juga memberikan dampak ikutan lainnya. Antara lain, persaingan sesama pembisnis berbasis elektronik yang sangat ketat, bahkan cenderung saling bantai (predatory pricing).
Apa yang dimaksud dengan predatory pricing? Melansir Price Intelligently, pengertian istilah predatory pricing yaitu kegiatan menjual barang di bawah harga dan jauh dari modal. Meskipun merugi, beberapa perusahaan kerap melakukan ini. Dikutip dari Investopedia, aksi ini melanggar hukum antitrust karena tujuannya akan menciptakan monopoli.
Berkah pun berada dalam genggaman Indonesia, menyusul lahirnya ekonomi digital. Pertumbuhan ekonomi tercipta. Begitu pun lapangan kerja.
Google, Temasek, dan Bain & Company edisi 2022 berusaha memotret prospek bisnis berbasis digital di Indonesia dengan melakukan survei di 2022. Ketiga institusi itu pun lantas memprediksi, nilai ekonomi digital bila menggunakan pendekatan nilai penjualan atau gross merchandise value (GMV) Indonesia akan mencapai USD130 miliar pada 2025. Padahal, tahun lalu hanya bernilai USD77 miliar.
Nilai sebesar itu digerakkan oleh layanan berbasis e-commerce atau e-dagang sebagai motor utamanya. Google, Temasek dan Bain & Company memprediksi, porsi nilai GMV e-commerce Indonesia mencapai USD95 miliar atau Rp1,5 triliun pada 2025. Sebuah nilai tidak kecil.
Bahkan, Google dkk pada 2022 juga melakukan pengamatan perilaku konsumen e-commerce hingga satu tahun ke depan. Pertanyaan yang diberikan kepada konsumen, salah satunya, adalah apakah niat konsumen dalam menggunakan layanan itu dalam 12 bulan mendatang masih cukup besar?
Konsumen bahkan memberikan jawaban lebih positif ketika muncul pertanyaan, akankah mereka akan berbelanja lebih banyak lagi? Jawaban mereka, sebanyak 32 persen responden menjawabnya, adalah akan lebih banyak. Yang menjawab sama dengan sebelumnya ada 50 persen. Sedangkan, yang lebih sedikit hanya 18 persen.
Yang cukup mengejutkan dari hasil survei Google dkk itu adalah adopsi masyarakat perkotaan terhadap layanan itu cukup tinggi, yakni sudah mencapai 89 persen. Itu jauh lebih tinggi dibandingkan jasa lainnya yang berbasis digital.
Dari potret di atas, wajar saja bila pelaku usaha bergegas merangsek ke bisnis jasa layanan berbasis elektronik. Mereka tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Akibat kondisi itu, persaingan bisnis itu menjadi ketat. Mereka bahkan ‘saling membunuh’. Salah satu instrumennya adalah predatory pricing. Siapa yang bermodal kuat, dia yang akan memenangkan persaingan.
Tidak ingin terjadi kekacauan di jenis usaha yang bisa dikatakan baru tumbuh itu, pemerintah akhirnya turun tangan. Pelaku PPMSE diatur agar tertib dan tidak saling membunuh, terutama bagi pelaku PPMSE skala UMKM.
Ada dua regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk menjawab masalah tersebut. Pertama, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 31/2023. Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 96 tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.
Nah, pertanyaan selanjutnya, apa yang melatarbelakangi lahirnya Permendag 31/2023? Tujuan Kementerian Perdagangan RI ingin memastikan tidak ada praktik predatory pricing di platform dagang, menyusul terbitnya beleid itu.
Adapun, pengaturan terkait predatory pricing tertuang dalam Pasal 13 pada aturan baru e-commerce itu. “Sebenarnya memang Permendag 31/2023 (ada) beberapa peraturan, sudah kita atur untuk memastikan bahwa tidak adanya predatory pricing,” kata Direktur Perdagangan melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kemendag Rifan Ardianto dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis (12/10).
Dalam aturan tersebut, PPMSE atau e-commerce diharuskan untuk berperan aktif dalam memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi pedagang dan menjaga harga barang atau jasa bebas dari praktik manipulasi harga, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam Pasal 13 Ayat 2, PPMSE diharuskan melakukan upaya mengawasi, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk praktik persaingan usaha yang tidak sehat dan/atau praktik manipulasi harga, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dituangkan dalam standar operasional prosedur.
“Itu sebagai salah satu upaya peran aktif dari regulasi PPMSE ini untuk memastikan bahwa tidak terjadi predatory pricing itu sendiri,” ujarnya.
Melalui Permendag 31/2023, pemerintah mulai menutup sumber-sumber yang memungkinkan harga barang jauh lebih murah, dalam hal ini perdagangan melalui lintas batas (cross border). Adapun salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah barang impor murah masuk ke tanah air adalah dengan membatasi impor untuk harga barang di bawah USD100.
Kendati begitu, Rifan mengakui, Permendag 31/2023 tidak bisa berdiri sendiri bila ingin memberantas praktik predatory pricing. Untuk itu, Permendag 31/2023 harus dibarengi dengan berbagai regulasi, termasuk yang berkaitan dengan pengetatan arus barang impor. Khusus soal PMK 96/2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.
Terbitnya PMK 96/2023 sebagai perubahan dari PMK nomor 199/PMK.010/2019 ini adalah bagian dari transformasi layanan Kemenkeu dalam memberikan kepastian hukum dan aturan yang jelas terkait ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak atas impor dan ekspor barang kiriman.
Hal itu dilatarbelakangi oleh melonjaknya perkembangan bisnis pengiriman barang impor melalui penyelenggara pos, yang perlu diimbangi dengan prosedur pelayanan dan pengawasan yang lebih maju dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Pelayanan dan pengawasan yang dilakukan pun dituntut menjadi makin efektif dan efisien. Memang bila ditelaah lebih jauh, lahirnya PMK sebagai upaya pemerintah (Ditjen Bea dan Cukai) mengatur soal tata cara impor, terutama dari pelaku PPMSE. Di dalam regulasi PMK 96/2023 itu, PPMSE pun akan diperlakukan sebagai importir atas barang kiriman hasil perdagangan PPMSE tersebut.
Menurut Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu Fadjar Donny Tjahjadi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) akan mulai berlaku pada 17 Oktober 2023, sebagai salah satu langkah penyempurnaan proses bisnis kepabeanan atas barang kiriman.
Di kesempatan yang sama, Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kemendag Rifan Ardianto juga menyatakan bahwa sinergi Kemendag dan Kemenkeu dalam mengatur ketentuan PPMSE dan penyempurnaan proses bisnis kepabeaan akan meningkatkan perlindungan konsumen sekaligus pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dari serbuan produk impor. (indonesia.go.id)