Memugar Seribu Rumah Gadang Nagari
PERISTIWA SENI BUDAYA

Memugar Seribu Rumah Gadang Nagari

Saribu Rumah Gadang (SRG) selesai bersolek. Segar dan elok dipandang mata. Tak ada lagi rumah yang lapuk dan rombeng. Dari 148 rumah gadang di Desa Adat Saribu Rumah Gadang, Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan itu, sebanyak 32 rumah di antaranya yang telah lapuk dan bobrok telah tuntas dipugar oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Rampungnya revitalisasi SRG ini menambah daftar destinasi unggulan di tanah Minang yang siap dikunjungi oleh wisatawan. Kawasan Saribu Rumah Gadang telah siap menerima pengunjung.

Kawasan SRG ini memang stimewa. Dengan area permukiman 23,6 hektare, rumah-rumah gadang yang cantik bertebaran dari ujung ke ujung. Meski sepintas sangat mirip, tapi satu sama lain ada perbedaan detail dan aksennya, tergantung suku pemiliknya.

Nagari Koto Baru Sungai Pagu ini sejak berabad lalu dihuni oleh berbagai suku. Ada suku (kaum) Malayu, Durian, Bariang, Kampai, Panai, Tigo Lareh, Koto Kaciak, dan Sikumbang. Masing-masing mereka punya rumah gadang sendiri.

Yang kini tampak ikonik adalah rumah gadang milik Kaum Tigo Lareh, di pinggir jalan utama nagari. Setelah 20 tahun tidak dihuni karena lapuk, bangunan adat itu seperti terlahir kembali dengan atap seng warna perak berkilat, bergonjong ala tanduk kerbau bersusun tiga. Dindingnya kayu berpelitur coklat tua dengan, sebagian berukir, dengan daun pintu dan jendela bercorak tradisional.

Bangunan itu khas rumah gadang untuk hunian kepala kaum dan ninik mamak. Panjangnya sekitar 24 meter, lebar 10 meter, dan serba simetris dengan teras balai yang menyeruak di bagian tengah, menaungi tangga yang dua meter tingginya. Struktur rumah panggung itu memiliki ruang anjuang pada kedua sisinya, untuk keperluan upacara adat.

Di halamannya yang luas itu, tampak dua rangkiang kembar, rumah panggung 3×3 meter persegi, berdinding bambu, tempat menyimpan padi hasil panenan. Bangunan itu seperti lumbung dalam rumah adat di masyarakat Jawa dan Sunda.

Di bawah arahan tim arsitek dari Universitas Bung Hatta Padang, bangunan kayu itu tidak berpaku. Sambungan kayu diikat dengan pasak. Tiang-tiang penyangganya tidak satupun ditanam ke tanah, melainkan bertumpu di atas batu datar. Begitulah Budaya Minang mewariskan sebuah konstruksi antigempa. Bila terjadi gempa, tiang-tiang itu hanya bergeser dari posisinya, berguncang-guncang seperlunya, tapi tak akan roboh.

Rampungnya revitalisasi SRG itu ditandai oleh unggahan video tentang suasana baru situs tersebut di Youtube, Jumat 16 April 2021, yang bertajuk Kementerian PUPR Tuntaskan Revitalisasi Kawasan SRG. Dari kamera drone terlihat, bangunan-bangunan baru hasil rehabilitasi Kementerian PUPR itu terlihat dari atap-atap sengnya yang baru, warna perak, dan berkilat-kilat.

Revitalisasi kawasan rumah adat itu dicanangkan Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Padang, Februari 2018. Ketika itu, usai melakukan kunjungan kerja ke daerah pedalaman Sumatra Barat, Presiden secara spontan menyatakan rencana merevitalisasi Kawasan SRG, di Kecamatan Sungai Pagu itu, di depan acara puncak HPN. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono ditunjuk sebagai pelaksananya.

Melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Sumatra Barat, Menteri PUPR pun memulai kegiatan revitalisasi itu pada November 2019 dan dapat selesai Desember 2020. Dengan tambahan pernak-perniknya, proyek itu sepenuhnya tuntas Maret lalu. Biayanya Rp67,3 miliar.

Kegiatan revitalisasi itu meliputi pemugaran 32 bangunan rumah gadang yang telah keropos dan lekang dimakan usia. Melengkapi RGS sebagai destinasi wisata, di mana di sebelah permukiman tua itu, di tepi Sungai Pagu, dibangun sarana penunjang berupa sebuah plaza. Di sana ada ruang terbuka hijau, panggung pertunjukan, deretan kios suvenir, dengan bangunan penunjang yang dibangun dengan desain Minang konpemporer.

Yang paling viral ialah bangunan songketnya, berupa menara pandang setinggi 32 meter, persis di tubir Sungai Pagu. Dari atas menara, pengunjung dapat menyaksikan kerumunan berbagai bentuk atap bergonjong yang begitu rapat satu sama lain di Kawasan RGS.

Tidak ada duanya. Dari menara itu tampak hijaunya Bukit Barisan, yang bermahkotakan Gunung Kerinci, menjulang 3.805 meter di atas permukaan laut.

Di dekat menara songket itu ada jembatan gantung selebar tiga meter yang melintas di atas Sungai Pagu. Warga setempat menyebutnya jembatan merah, karena warna catnya. Dengan panorama yang indah di sekelilingnya, jembatan ini tampak instagrammable. Foto-foto jembatan ini sempat viral di kalangan anak muda Sumatra Barat di sekitar akhir 2020.

Nagari Koto Baru di Kabupaten Solok Selatan itu letaknya sekitar 150 km dari Padang. Perlu waktu 3–4 jam dari Kota Padang dengan perjalanan darat ke arah tenggara, cukup dekat dengan perbatasan Provinsi Jambi. Kawasan Saribu Rumah Gadang itu berhawa sejuk, berada sekitar 430 meter di atas permukaan laut.

Kabupaten Solok adalah salah satu daerah Sumatra Barat yang masih menyimpan pusaka rumah gadang dalam jumlah besar. Namun hanya di Nagari Koto Baru itu rumah-rumah gadang berderet-deret dengan berbagai model.

Ketika singgah di nagari itu pada perjalanan dinasnya 2008, Menteri Pemberdayaan Perempuan (ketika itu), Profesor Meutia Farida Hatta Swasono, sempat terpesona oleh keelokan rumah-rumah gadang itu. Secara spontan, putri proklamator M Hatta itu menyebutnya sebagai Kawasan Saribu Rumah Gadang.

Dalam perjalanannya, predikat Saribu Rumah Gadang itu semakin dikenal. Pemerintah Kabupaten Solok Selatan mengembangkannya sebagai destinasi wisata dengan sebutan resmi Alam Surambi Sungai Pagu.

Nagari yang terletak hanya tiga kilometer dari Ibu Kota Kecamatan Muara Labuh itu semakin terkenal ketika menjadi lokasi shooting film layar lebar “Di Bawah Lindungan Kabah” pada 2012. Nagari Koto Baru itu sendiri dikenal sebagai wilayah inti dari Kerajaan Sungai Pagu, satu monarki kecil dalam klaster kerajaan-kerajaan Minangkabau di masa lalu.

Dalam perjalanannya, sebagian dari bangunan-bangunan tua di Nagari Koto Baru itu lapuk karena usia. Sebagian lainnya masih berdiri kokoh karena telah dirawat dan dipugari oleh para ahli waris dari suku-suku pemiliknya.

Pada akhirnya, cerita itu sampai ke Presiden Joko Widodo yang sedang melakukan kunjungan kerja ke Sumatra Barat. Program revitalisasi lantas dijalankan, meski baru sebagian. Masih ada sebagian lagi yang perlu dipugar.

Toh, sentuhan tangan Menteri Basuki Hadimuljono telah membuat Nagari Koto Baru itu lebih laik menyandang predikat destinasi wisata.

Menteri Basuki sendiri mengatakan, penataan SRG itu tak hanya memugar rumah gadang. Lebih dari itu, kegiatan pemugaran itu melibatkan tukang-tukang kayu senior, yang memiliki keahlian membangun sekaligus membuat ornamen bangunan dan ukir-ukiran rumah adat Minangkabau.

Pemugaran itu menjadi ajang pewarisan keterampilan dari tukang-tukang kayu tua kepada generasi penerusnya. “Kalau tak ada proses pewarisan, keahlian membuat ukiran, memahat ornamen, dan pengetahuan dalam merancang struktur rumah adat itu bisa punah,” kata Basuki. Pada akhirnya, menurut Basuki pula, nilai kearifan lokalnya pun bisa memudar. (indonesia.go.id)