Senisono, adalah sebuah nama gedung di sisi selatan kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta yang kini difungsikan sebagai museum.
Semenjak dibuka untuk publik, gedung ini seakan menjadi gong bagi para pengunjung karena menyuguhkan sederetan karya-karya maestro koleksi Istana.
Sebut saja lukisan Nyai Roro Kidul karya Basuki Abdullah yang legendaris dan sejumlah lukisan revolusi karya S. Sudjojono, Affandi, dan Dullah.
Pun lukisan masterpiece karya Raden Saleh, Berburu Banteng II (1851) juga terpampang di ruang pamer museum. Belum lagi sederet memorabilia dari era Presiden Sukarno dan cinderamata dari negara-negara sahabat.
Museum ini sungguh menyimpan kisah panjang sejak era kolonialisme Belanda. Pada mulanya, gedung ini adalah Gedung Societeit de Vereeniging Djogdjakarta. Dibangun pada 1822 yang diprakarsai oleh Luitnant De Terria.
Masyarakat Yogya kala itu lebih familier dengan sebutan Gedung Jenewer atau Kamar Bola karena digunakan sebagai pusat hiburan bagi masyarakat sipil dan militer Belanda. Dikisahkan, kalangan Belanda acap menenggak “minuman” dan berdansa di sini.
Empat dekade setelahnya, gedung ini sempat mengalami perbaikan sekitar tahun 1864. Pemugaran pun kembali dilaksanakan pada tahun 1915. Angka tahun 1915 bisa dilihat terpatri di dinding atas sisi timur dengan huruf timbul yang cukup menonjol.
Gedung Societeit baru berubah nama ketika tentara Jepang menduduki Yogyakarta pada tahun 1942. Sejak itu, Gedung Societeit beralih menjadi Balai Mataram. Semua kegiatan di Balai Mataram berada di bawah pengawasan Jepang.
Namun, pasca aksi penurunan bendera Hinomaru Jepang pada tanggal 21 September 1945 Balai Mataram segera dikuasai NKRI. Gedung ini kemudian jadi saksi penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia pertama pada 9-11 November 1945 yang dihadiri oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta.
Dari masa ke masa, eksistensi Gedung Senisono terus berkembang. Gedung ini pernah berfungsi menjadi bioskop di tahun 1952, sebelum kemunculan Bioskop Indra dan Permata.
Barulah pada tahun 1967, jantung kesenian di Senisono berdetak kencang. Berbagai agenda kesenian, pameran-pameran, atau perbincangan antar seniman meramaikan Gedung Senisono.
Lokasinya yang berada di pusat kota membuat detak Senisono sebagai art gallery kian terwujud nyata.
Mengutip Annisa Rachmatika Sari dalam tulisannya bertajuk “Senisono: Ruang Bersama Hak Siapa” yang dipublikasikan oleh IVAA pada 2017, menyampaikan bahwa Gunawan Raharjo menyebut Senisono menjadi barometer seni di masa itu.
Annisa menggambarkan, betapa sangat mudah untuk bertemu, lebih-lebih wedangan bersama Rendra, Sawung Jabo, hingga Djoko Pekik, dan Affandi (di Art Gallery Senisono, Red). Kondisi ini yang membangun seni di Yogyakarta ibarat makanan yang dapat dijangkau seluruh masyarakat.
Ironisnya, pertumbuhan kesenian itu tidak dibarengi dengan perlakuan terhadap sarana prasarana gedung yang mumpuni.
Akibatnya gedung sepuh ini pun terkesan kumuh sementara lokasinya bersisihan dengan Istana Kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung) sebagai tempat penerimaan tamu-tamu negara.
Wacana pemugaran gedung pun memanas pada era 90an. Berbagai kontroversi muncul, yang menolak dan yang sepakat.
Sampai akhirnya, pemugaran terselesaikan pada 1998 dan diresmikan oleh Presiden BJ Habibie. Bedanya, paska pemugaran, gedung ini lantas diakuisisi menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Meski berubah status pengelolaannya, semangat kesenian di Senisono masih terus dipertahankan oleh Istana Kepresidenan Yogyakarta. Gedung kesenian itu tetap menjadi gedung kesenian meski dengan konten yang berbeda.
Semenjak menjadi bagian istana, gedung ini lantas difungsikan sebagai Ruang Pamer Museum. Sederetan lukisan karya maestro dijajar pada dinding-dinding tinggi museum.
Lantas pada 2014, Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kembali museum ini dengan beberapa gubahan tata ruang dan layout koleksi.
Tak hanya demi faktor estetika tetapi sebagai upaya konservasi preventif terhadap koleksinya. Semenjak itu, pihak Istana terus berupaya menggaungkan keberadaan museum ini kepada publik. Salah satunya melalui program Istana Untuk Rakyat (Istura).
Bukan tanpa hasil. Masyarakat umum lantas berbondong-bondong mengunjungi Istana Kepresidenan Yogyakarta. Dalam lima tahun terakhir, jumlah pengunjung Istana melonjak dua kali lipat.
Pada 2014, tercatat ada 14.957 pengunjung dalam satu tahun. Kemudian pada 2018, jumlahnya telah mencapai 31.715 pengunjung.
Berbagai upaya sosialisasi terus dilakukan agar Senisono yang kini berada dalam pagar Istana bisa tetap diakses publik. Pagar Istana tidak ditujukan untuk membatasi akses masyarakat. Namun, demi optimalisasi keamanan dan kelestarian koleksi seni yang bernilai triliunan ini.
“Agar benda-benda di dalam museum ini dapat dilestarikan sebaik-baiknya. Bilamana perlu agar dilakukan koreksi. Merdeka!,” pesan Guruh Sukarno Putra saat berkunjung ke museum Istana Kepresidenan Yogyakarta, 22 Januari 2016 silam. (ist)