Membedah Tol Trans Jawa Prespektif Sospol
PEMERINTAHAN PERISTIWA

Membedah Tol Trans Jawa Prespektif Sospol

Pembangunan infrastruktur dalam dua dasa warsa terakhir ini bergerak dari semula didominasi oleh negara bergeser menjadi lebih melibatkan peran sektor swasta dengan segala capaian dan kecerdasan entrepreneurship yang dimiliki. Pembangunan infrastruktur ini tentunya berbeda di saat orde baru dan pasca orde baru.

Guru besar UGM Prof Dr Sunyoto Usman menyebut sejak zaman pemerintahan Soeharto (Orde Baru) dan pascsa Soeharto sudah ada upaya untuk mewujudkan infrastruktur jalan tol. Hanya saja, di masa pemerintahan Soeharto telah mengidentifikasi berbagai kekuatan kunci non-institusional yang merusak koordinasi dan efektifitas kinerja lembaga-lembaga formal.

“Merujuk buku yang terbit pada tahun 2015 berjudul Indonesia’s Changing Political Economy: Governing The Roads karya Jamie S. Davidson terbitan Cambridge University Press yang membahas pembangunan jalan tol di Jawa dengan pendekatan ‘sosiologi politik pembangunan infrastruktur’ disebutkan bagaimana kroni-kroni penguasa ketika itu melakukan monopoli bisnis pembangunan jalan tol terutama di Jakarta,” ujarnya di Pustral UGM, Jumat (26/7).

Berbicara dalam seminar dan diskusi bulanan bertema Sosiologi Politik Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol Trans Jawa, Sunyoto mengatakan dalam pembangunan jalan tol ini kroni-kroni dalam pemerintahan Soeharto mendapatkan berbagai konsensi.

Keberadaan mereka membuat posisi lembaga-lembaga formal yang bertanggung jawab dalam pembangunan jalan tol terpinggirkan dan menjadi marginal.

“Dalam hal ini, kontrol publik amat lemah, kegiatan pembangunan jalan tol melembagakan konspirasi dan korupsi,” katanya.

Upaya pemerintahan Soeharto melakukan pembangunan infrastruktur jalan tol ini, kata Sunyoto, menghadapi dua masalah krusial yaitu terjadi penolakan masyarakat terhadap Perpres Nomer 36/2005 tentang pangadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Selain itu, pemerintah juga menghadapi masalah soal sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalan. Kendatipun pemerintah meminta supaya sejumlah bank milik negara menjalin kesepakatan utang dengan para pemegang izin, namun tidak dapat berjalan seperti diharapkan.

“Sehingga pelaksanaan proyek pun amat lamban. Perselisihan antar kementerian pun ikut memperlambat kucuran dana pemerintah untuk proses pembebasan lahan,” ujarnya.

Sementara itu, di zaman Susilo Bambang Yudhoyono periode II (2009-2014), pemerintah berusaha menghubungkan ruas-ruas jalan tol. Pemerintah dalam periode ini menghadapi tantangan seputar pembebasan lahan non-sukarela (involuntary).

Dalam periode ini terjadi benturan kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota sebagai imbas dari UU No 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Pada saat itu, terjadi penolakan sebagian anggota parlemen yang menilai bila peraturan perundangan yang berlaku lebih memihak kepentingan investor dan tidak menunjukkan prinsip-prinsip yang populis.

Lebih lanjut Sunyoto mengungkapkan adanya sejumlah kecil pelaku bisnis pemegang konsensi menjadi pemburu renten yang membuat megaproyek Jalan Tol Trans Jawa menjadi mangkrak. Mereka memiliki posisi tawar tinggi dan ikut terlibat aktif dalam mengendalikan pemerintahan.

“Kasus politik lokal dalam pembangunan jalan tol di Jawa Tengah memperlihatkan bagaimana masyarakat sipil, DPR Daerah dan pemilik lahan telah berhasil menggagalkan mobilisasi yang dilakukan perangkat pemerintah provinsi dalam proses pembangunan jalan tol di Jawa Tengah,” paparnya.

Menurut Sunyoto diperlukan pengetahuan tentang utilisasi atau bagaimana pemerintah kabupaten/kota mengelola dan mendayagunakan jalan tol tersebut. Seberapa jauh social readiness mereka dalam utilisasi jalan tol yang telah dibangun.

Utilisasi jalan tol untuk mengembangkan jaringan (networking) desa-desa dan kawasan industri dengan pasar, terminal, pelabuhan dan bandara. Selain itu, utilisasi dalam mengembangkan infrastruktur dan lembaga menjadi “supporting facilities” terhadap networking.

Selain itu, bagaimana mengembangkan growth center bagi multiplier effect jalan tol dengan mengutamakan potensi lokal. Mengembangkan kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat terkait dengan keberadaan jalan tol. “Dan yang tak kalah penting membangun komunikasi, kerja sama dan koordinasi dengan investor, perbankan, lembaga keuangan mikro, pengusaha ekspor-impor,” tuturnya. (sak)