Budaya Nusantara tak lepas dari ekspresi manusianya lewat pelbagai wahana. Topeng kayu merupakan salah satu manifestasi rasa dan pengalaman batin yang dituangkan dari ekspresi wajah topeng-topeng tersebut.
Ekspresi batin ini disampaikan melalui gerak tari untuk menyampaikan suatu sosok dan kisah-kisah kebajikan, kelembutan maupun heroisme manusia. Tari topeng atau kedok berkembang di beberapa suku Nusantara baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, dan Papua. Tentu dengan ciri khas dan sesuai dengan ritual dari masing-masing suku.
Tari topeng merupakan kesenian yang lahir dan berkembang di sekitar wilayah Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Seni budaya ini berkembang tidak hanya di Cirebon, melainkan juga di Subang, Indramayu, Jatibarang, Majalengka, Losari, hingga Brebes di Jawa Tengah.
Topeng Cirebon biasanya terbuat dari bahan kayu lunak sehingga mudah dibentuk, misalnya, kayu jaran, kayu waru, kayu mangga, ataupun kayu lame. Meski terbuat dari bahan yang lunak, tetap dibutuhkan ketekunan, ketelitian dalam pembuatannya. Setidaknya seorang perajin topeng membutuhkan waktu sehari dalam menciptakan satu topeng.
Kenapa disebut tari topeng? Pasalnya, penari menggunakan topeng atau kedok sebagai asesoris tariannya, yang berfungsi untuk menutupi wajah penari. Penggunaan topeng ini juga terkait dengan jenis tarian yang dimainkan, yang tentunya sesuai dengan karakter topeng atau kedok yang dipergunakan.
Sesuai perkembangannya, tari ini mulai beragam ceritanya. Bisa ditampilkan secara solo maupun berkelompok lima sampai tujuh penari.
Syahdan, kesenian ini berasal dari Jawa Timur, yang tersebar ke Cirebon pada masa pemerintahan kerajaan Jenggala (abad 10-11 Masehi). Ketika itu, berkembang tari topeng panji malangan.
Seperti dikutip dari kebudayaan.kemendikbud.go.id, eksistensi tari topeng Cirebon tak lepas dari periode awal penyebaran agama Islam di kota tersebut. Cirebon pada abad ke-16 menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian barat.
Sultan Cirebon Syekh Syarif Hidayatullah, yang juga seorang anggota Wali Songo bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga menggunakan tari topeng dan enam jenis kesenian lain yaitu, wayang kulit, gamelan, renteng, brai, angklung, reog, dan berokan sebagai sarana dakwah Islam.
Selain itu, kesenian-kesenian tersebut juga diciptakan sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai estetis sehingga dapat digelar di lingkungan keraton.
Namun di era kolonial Hindia Belanda pada abad ke-17 terjadi pembatasan pergelaran kesenian di Keraton Cirebon. Kondisi ini membuat banyak para seniman tari dengan mengembangkan seni topeng ini di kampung mereka masing-masing. Sejak saat itulah, tari topeng berkembang di kalangan rakyat jelata.
Ciri khas tari topeng Cirebon adalah pada gerakan tangan dan tubuh yang gemulai, sementara iringan musiknya didominasi oleh kendang dan rebab yang dilakukan para wiyaga. Penari sendiri adalah dalang dari cerita tari tersebut. Keunikan lainnya adalah adanya proses pewarisan keahlian tari topeng dari generasi tua kepada yang lebih muda.
Seturut perkembangan zaman, topeng Cirebon kemudian memiliki bentuk serta penyajiannya yang spesifik dengan menampilkan beberapa jenis tarian berbeda disesuaikan dengan kedok yang digunakan.
Sesuai dengan urutannya tari topeng Cirebon terdiri dari tari topeng panji, tari topeng samba, tari topeng rumyang, tari topeng temanggung, dan tari topeng kelana atau rahwana. Kelima jenis topeng ini kemudian dikenal dengan nama Panca Wanda (lima rupa).
Kelima purwa rupa topeng Cirebon ini memiliki keunikan dan cerita yang mendasarinya sendiri-sendiri. Filosofi lima purwa topeng Cirebon mengandung makna siklus hidup manusia.
Pada masa kanak-kanak disimbolkan dengan topeng panji, yang memiliki rupa dan gerakan tari yang lembut layaknya anak-anak. Beranjak remaja topeng samba menjadi perwakilan masa hidup manusia yang lincah dan penuh rasa ingin tahu.
Sedangkan topeng rumyang mewakili siklus hidup manusia dewasa, rupanya yang bersemu merah menandakan kedewasaan, begitu pula gerakannya yang semakin mantap menunjukkan manusia yang mendekati kemapanan. Adapun topeng temanggung menceritakan siklus kehidupan manusia yang telah menginjak pada masa kematangan dan kemapanan sempurna.
Tari topeng kelana sering pula disebut topeng rawana. Sebutan itu mengacu pada salah satu tokoh yang ada dalam cerita Ramayana, yakni tokoh Rahwana. Secara kebetulan, karakternya sama persis dengan tokoh Kelana dalam cerita panji. Di Cirebon, topeng kelana dan rawana kadang-kadang diartikan sebagai tarian yang sama.
Namun bagi beberapa dalang topeng, misalnya, Sujana Arja dan Keni Arja dari Slangit, Sutini dari Kalianyar, dan Tumus dari Kreo, kedua tarian itu dibedakan berdasarkan kostumnya.
Tari topeng kelana adalah gambaran seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, ditandai dengan warna merah dari kedoknya.
Tariannya sangat bertenaga dan bersemangat, sehingga lebih disenangi oleh penonton dibanding dengan tari topeng jenis lainnya. Gerak tarinya menggambarkan seseorang yang tengah marah, mabuk, gandrung, tertawa terbahak-bahak, dan sebagainya.
Tari topeng Cirebon ini tidak hanya dipentaskan di hajatan kampung-kampung, ritual Keraton Kacirebonan maupun pergelaran di daerah-daerah. Tarian itu bahkan sudah melanglangbuana hingga ke Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Mimi Rasinah adalah legenda dan maestro tari topeng Cirebon yang paling dikenal di antero mancanegara. (indonesia.go.id)