Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali merilis Geoseminar bertema “Jejak Patahan Palu-Koro (Gempa Palu dan Donggala)” Jumat (5/10), di Bandung.
Mengupas kondisi seismotektonik dan gempa bumi tsunamigenik Palu-Donggala-Sigi, peneliti senior Pusat Survei Geologi (PSG) Badan Geologi Asdani Soehaimi, mengungkapkan gempa bumi Palu-Donggala-Sigi 28 September 2018 yang berpusat di sebelah timur Teluk Palu.
Tepatnya di sekitar Teluk Tambu adalah Gempa bumi Tsunamigenik yang bersifat merusak, yang terjadi akibat aktifitas patahan mendatar mengiri turun.
Pada peristiwa patahan ini blok patahan bagian atas (hanging wall) yang terletak di sebelah timur lajur patahan bergerak turun (rake 24 derajat) ke arah utara.
Sedangkan blok patahan bagian bawah (foot wall) yang terletak di sebelah barat lajur patahan selain turun juga bergerak sedikit naik ke arah selatan. “Mekanisme gerak patahan inilah yang menyebabkan terjadinya gelombang tsunami di teluk Palu,” tegas Asdani.
Menurut Asdani, daerah sepanjang lajur Patahan Palu-Koro-Matano adalah merupakan daerah yang beresiko tinggi bahaya bencana gempa bumi.
Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang berada di daerah sekitar dan berimpit dengan lajur patahan Palu-Koro-Matano harus menyusun tata ruang yang berbasis pada potensi bencana gempa.
Diungkapkan pula bahwa pembuatan peta mikrozonasi potensi bencana gempa bumi untuk Ibu Kota Provinsi, Kabupaten dan Kota sebaiknya dilakukan untuk level 1-3. Jenis pemanfaatan dengan kategori resiko dalam SNI 1726:2012 dalam penempatan pemanfaatan ruang berbasis tingkat kerentanan dapat diterapkan.
Asdani menjelaskan, pembangunan infrastruktur gedung dan non gedung dianjurkan mengacu pada tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung (SNI 1726:2012).
Khusus Kota Palu dan Donggala yang berbatasan langsung dengan laut diharuskan membuat jalur evakuasi. Zona sepadan pantai bahaya tsunami sebaiknya dibuat dan ditaati oleh setiap wilayah Provinsi Kabupaten dan Kota yang berbatasan dengan laut dan Teluk Palu.
Pembuatan tembok penghalang tsunami dapat dilakukan pada pantai-pantai yang landai sekitar teluk.
“Pengetahuan tata cara membangun rumah tahan gempa harus dilakukan terhadap mereka yang berada di sektor pembangunan gedung dan non gedung. Sosialisasi tentang bahaya gempa bumi dan mitigasinya harus sering dilakukan,” ungkapnya.
Sementara itu narasumber dari Pusat Air Tanah Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi, Risna Widyaningrum dan Taufiq Wira Buana beserta timnya memaparkan mengenai studi bahaya Likuifaksi Palu berdasarkan Geologi Teknik.
“Palu merupakan salah satu daerah yang sering terjadi gempa dan mempunyai seismisitas tinggi. Geologi regional daerah Palu dan sekitarnya didominasi oleh endapan kuarter yang terdiri atas endapan fluviatil dan alluvium. Kondisi alam tersebut memiliki beberapa potensi yang merugikan di antaranya adalah potensi likuifaksi,” ujar Risna.
Risna menguraikan, likuifaksi akan menjadi masalah jika terjadi pada kawasan budidaya seperti area pemukiman, prasarana fisik dan industri. Masalah tersebut adalah efek penurunan dan perpindahan lateral tanah yang mengenai konstruksi bangunan fisik seperti tanah pondasi pada pemukiman, industri, jembatan dan sebagainya yang menurunkan tingkat kestabilannya.
“Likuifaksi merupakan bencana yang bisa merusak kondisi infrastruktur sehingga pengetahuan terhadap potensi dan kerawanan likuifaksi sangat penting terutama dalam merencanakan tata ruang khususnya di daerah Palu dan sekitarnya,” tandasnya. (sak)