Pemilu 2019 telah terbukti sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah Indonesia. Diadakan pada 17 April 2019, dua kontestan bersaing untuk mendapatkan kursi kepresidenan.
Melibatkan sekitar 193 juta pemilih terdaftar yang tersebar di 17 ribu pulau, dan sekitar 8 juta bilik suara yang dikelola oleh lebih dari 6 juta pekerja pemilu.
Lima surat suara berbeda dicoblos dalam satu hari dan kemudian dihitung secara manual di setiap tingkat (dari kabupaten ke kota, provinsi, dan tingkat nasional).
Banyak yang berpendapat bahwa ini adalah pemilihan langsung terbesar di dunia, yang dinilai dari proses yang rumit, skala yang sangat besar, dan tantangan logistik yang luar biasa.
Setelah melalui proses yang panjang dan rumit, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil akhirnya pada 21 Mei. Joko Widodo (Jokowi) memenangkan masa jabatan kedua kepresidenan dengan selisih 10 persen.
Pemilu 2019 di Indonesia ini sangat penting dalam beberapa hal. Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia (hampir 90 persen populasi mengidentifikasikan diri mereka sebagai Muslim, menurut Badan Pusat Statistik).
Walaupun telah melalui demokratisasi sejak 1998 (setelah 32 tahun di bawah pemerintahan otoriter/militer) dan digambarkan sebagai contoh sukses bagaimana demokrasi dan Islam berjalan beriringan, gelombang populisme global baru-baru ini serta kebangkitan kelompok konservatif terbukti menjadi tantangan bagi demokrasi yang masih rapuh di Indonesia.
Ada beberapa poin pelajaran yang bisa diambil dari Pemilu 2019, terlebih bila melihat kecenderungan politik domestik saat ini yang diwarnai oleh meleburnya seluruh partai (baik pemerintah dan yang mengaku sebagai oposisi) dalam kesepakatan merevisi aturan tentang korupsi (UU KPK) dan tentang kacau balaunya penyusunan aturan hukum kita.
Respons masyarakat terhadap gelombang demonstrasi besar mahasiswa pada tanggal 23-26 September itu semakin menunjukkan ada dua hal penting di bawah ini.
Poin pertama adalah munculnya kultus kepribadian dalam politik Indonesia. Orang-orang sangat terfokus pada politik presidensial sambil mengabaikan pemilihan parlemen di tingkat nasional dan lokal.
Fakta bahwa partai-partai koalisi Jokowi memenangkan hampir 55 persen suara dan hampir 60 persen kursi parlemen merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan karena memungkinkan ketiadaan suara yang berbeda di parlemen.
Selain itu, negosiasi dengan pihak lain dari kubu Prabowo yang dapat bergabung dengan koalisi Jokowi berkemungkinan dapat menciptakan mayoritas mutlak (447 kursi, 77 persen dari 575 kursi).
Di saat yang sama, masyarakat tidak benar-benar peduli dengan siapa saja anggota legislatif terpilih. Mereka yang terpilih ini akan memiliki suara yang signifikan pada beberapa peraturan, seperti yang menyangkut hak LGBT (lesbian gay, biseksual, dan transgender), hak minoritas agama, atau kebebasan berbicara.
Dengan berfokus pada pemujaan personal dan melupakan kebijakannya, kebijakan Jokowi (yang didukung penuh parlemen) tentang pengabaian hak-hak minoritas atau pembungkaman oposisi politik tidak akan dikritik, yang dapat mempercepat kemunduran demokrasi di Indonesia.
Fakta bahwa dalam beberapa waktu terakhir ini, suara mahasiswa yang menolak revisi UU KPK dan KUHP justru dihadapkan pada resistensi beberapa kelompok yang saat pemilu mendukung penuh Jokowi, menunjukkan hal itu.
Poin kedua adalah kenyataan bahwa Islam telah kembali ke dalam politik domestik Indonesia. Presiden Indonesia saat ini dan di masa depan, elit politik dan semua anggota masyarakat harus menyadari bahwa tidak bisa dipungkiri lagi, faksi moderat dan konservatif dari gerakan Islam di Indonesia akan terus berada dari arena politik.
Kondisi ini adalah bagian dari warisan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono ketika dia mengajak semua kekuatan itu ke dalam pemerintahan koalisinya dan membiarkan kelompok-kelompok Islam konservatif seperti Front Pembela Islam (FPI) atau partai seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk berkembang.
Meskipun partai-partai Islam konservatif seperti PKS telah memperoleh lebih banyak suara (dari 6,79 persen menjadi 8,21 persen) dan kursi (tambahan 10 kursi dari 40 menjadi 50), kekuatan Islam moderat dan tradisional telah membantu kemenangan kedua Jokowi.
Kemenangan besar Jokowi di Jawa Tengah dan Jawa Timur (keduanya adalah basis gerakan Islam moderat seperti Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah) membantunya mengalahkan Prabowo.
Partai Islam moderat dan nasionalis moderat yang mendukung Jokowi juga memperoleh lebih banyak kursi di parlemen, dengan demikian menahan kebangkitan Islam konservatif di Indonesia.
Namun, perpecahan antara Islam konservatif dan moderat ini telah memecah-belah dan membuat Muslim Indonesia dan rakyat Indonesia terpolarisasi, baik saat ini maupun di masa mendatang.
Alih-alih berbaikan setelah pemilihan dan kembali ke kehidupan normal sehari-hari, orang masih berbicara tentang politik secara terpolarisasi. Di satu sisi, itu juga mendorong orang ke bilik suara dan meningkatkan jumlah pemilih menjadi 82 persen.
Di sisi lain, polarisasi masyarakat ini mungkin membutuhkan waktu lama untuk diselesaikan. Tugas berat sudah menanti kita (sebagai masyarakat Indonesia) dan Presiden terpilih (Jokowi) selama beberapa tahun ke depan. (Penulis: Dias Pabyantara & Radityo Dharmaputra)