Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI telah menyalurkan kredit sebesar Rp 39,96 triliun terkait program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan disalurkan kepada 947.446 debitur.
Dalam hal ini, BRI mendapatkan jatah sebesar Rp 10 triliun dengan komitmen menyalurkan kredit sebesar Rp 30 triliun sampai tiga bulan, atau hingga September 2020.
Direktur Utama BRI Sunarso saat Public Expose Live 2020 yang diselenggarakan Bursa Efek Indonesia (BEI) secara virtual, Kamis (27/08) menyampaikan, pemerintah melalui PMK 70/2020 yang diubah menjadi PMK 104/2020 menempatkan dana sebesar Rp 30 triliun kepada Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara).
“Alhamdulillah kita sudah sampai Rp 30 triliun itu pada tanggal 7 Agustus jam 11.30 WIB. Kemudian sampai tanggal 26 Agustus 2020, dana deposito yang 10 triliun itu sudah kita salurkan dalam bentuk kredit sebesar Rp 39,96 triliun terhadap 947.446 debitur,” papar Sunarso.
Dikatakan, kelebihan dari penyaluran itu hal yang biasa. Hal terpentingnya, menurut Sunarso, adalah penyaluran bisa dilaksanakan secepatnya. Semua dana disalurkan kepada segmen UMKM.
Secara rinci, dana PEN yang dimaksud disalurkan untuk segmen mikro dalam bentuk kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp 16,57 triliun, mencakup 652 ribu nasabah.
Sedangkan segmen mikro non-KUR tercatat sebesar Rp 12,28 triliun bagi 249 ribu nasabah. Untuk segmen kecil dan menengah sebesar Rp 10,62 triliun atau kepada 20 ribu nasabah.
BRI menyerahkan seutuhnya kepada pemerintah terkait kemungkinan penambahan dana PEN yang masuk pada neraca bank. Begitu juga keputusan ikhwal dana tersebut nantinya bakal ditarik kembali atau malah diperpanjang.
Sebagai gambaran, sambung dia, saat ini penyaluran kredit di industri perbankan tumbuh 1,49% dan kredit BRI sendiri tercatat tumbuh hampir 4%.
Di sisi lain, likuiditas perseroan cukup mumpuni untuk disalurkan ke masyarakat, hal itu tercermin dari loan to deposit ratio (LDR) perseroan sebesar 85%.
Artinya, ketakutan mengenai ketatnya likuiditas akibat restrukturisasi kredit kini tidak terjadi, termasuk setelah menerapkan skema penundaan pembayaran pokok kredit oleh debitur. Tapi tampaknya permintaan (demand) kreditlah yang belum mampu mengimbangi ketersediaan dana masyarakat.
“Sehingga bisa disimpulkan kalau begitu isunya adalah apakah likuiditas untuk menumbuhkan kredit, atau justru isunya bukan likuiditas tapi demand terhadap kredit itu sendiri? Maka kalau ditanya apakah mau minta tambahan PEN? Kita serahkan ke pemerintah,” ujar dia.
Sunarso mengatakan, melihat gambaran dari industri dan BRI sendiri, ada peluang bagi dana PEN yang ditempatkan di Himbara sebagai likuiditas penyaluran kredit kini dapat dialihkan ke stimulus lain.
Stimulus masih dilakukan melalui perbankan namun bukan lagi melalui neraca bank, melainkan stimulus dalam bentuk banpres produktif untuk usaha mikro yang sifatnya hibah.
“Itu mungkin yang bisa mendorong permintaan. Nanti kalau demand-nya ada, barangkali bank (mulai gencar) menyalurkan kredit dan (kembali) membutuhkan likuiditas,” terang Sunarso.
Dia mengungkapkan, dalam mendorong demand di masyarakat kini pihaknya menaruh fokus untuk mempercepat stimulus yang telah disiapkan pemerintah. Untuk itu, setidaknya ada empat hal yang BRI perhatikan stimulus agar tepat sasaran.
Pertama, perlu ketersediaan dana pemerintah. Kedua, data-data penerima stimulus mesti benar dan sesuai. Ketiga, sistem penyaluran yang kredibel. Keempat, tujuan penyaluran stimulus mesti dikomunikasikan dengan jelas.
“Dengan demikian, maka kita akan kembali lagi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Saya kira itu yang menjadi fokus kita sekarang. Jadi stimulus dulu kita perlancar, kemudian bisnis mengikuti di belakang stimulus,” tandas Sunarso. (ist)