Indonesia merupakan salah satu penyumbang utama produksi perikanan dunia dan sebagai penghasil kedua ikan terbesar dari perikanan tangkap maupun budidaya.
Untuk tanaman air, khususnya rumput laut, FAO pada tahun 2016 melaporkan Indonesia sebagai penyumbang utama pertumbuhan produksi tanaman air dunia dengan pertumbuhan produksi rumput laut tahunan lebih dari 10 kali pada tahun 2005-2014 dan menghasilkan produksi rumput laut sebesar 36,90 persen dari total produksi dunia pada tahun 2014.
Seiring peningkatan populasi penduduk dunia maka permintaan produksi ikan untuk pemenuhan kebutuhan makanan dan gizi turut meningkat.
Rata-rata konsumsi ikan dunia pun terus meningkat, dari rata-rata 6 kg/ kapita pada tahun 1950 menjadi 19,2 kg pada tahun 2012 dengan total konsumsi ikan yang meningkat dari 50 juta ton di awal tahun 1960 menjadi hampir tiga kali kenaikan jumlahnya.
Pada tahun 2014 tingkat konsumsi ikan ini pun menjadi 38 kg per kapita per tahun dari target nasional 40 kg per kapita per tahun.
“Oleh karena itu, dengan luas perarairan dan lautan yang dimiliki maka produksi perikanan Indonesia berpotensi untuk di tingkatkan,” kata Rektor UGM, Prof Ir Panut Mulyono MEng DEng di East Parc Hotel Yogyakarta, Senin (24/7) saat membuka The Second International Symposium on Marine and Fisheries Research tahun 2017.
Fakta tersebut diatas, menurut Rektor, menunjukkan gambaran yang jelas akan peluang perikanan global. Karena itu, pengembangan sektor perikanan harus diarahkan untuk membangun sektor perikanan yang maju, efisien dan tangguh dengan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada.
Karena bagaimanapun, Indonesia kaya akan sumberdaya hayati, luas laut dan memiliki garis pantai terbanyak kedua. Dengan produksi rumput laut tertinggi di dunia hingga 36 persen maka kontribusinya terhadap kebutuhan rumput laut dunia ini menjadikan posisi strategis Indonesia.
“Disininilah arti penting peran UGM berkontribusi dalam bidang perikanan, diantaranya dengan kolaborasi-kolaborasi penelitian. Kolaborasi dengan Australia, khususnya untuk penyakit udang, penyakit WSD, untuk produk-produk pengolahan dengan New Zealand, dan budidaya rumput laut dengan Kepulauan Solomon,” tutur Prof Panut seperti dirilis Humas UGM.
Hal senada disampaikan Prof Dr Ocky Karna Radjasa M.Sc, Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Kemenristekdikti. Menurutnya, riset tentang perikanan dan kelautan memiliki arti penting. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045.
“Maritim secara luas menjadi salah satu prioritas, di dalamnya terkandung riset tentang perikanan dan kelautan. Dalam hal ini dibutuhkan banyak tenaga di bidang perikanan dan kelautan. Oleh karena itu, pertemuan hari ini merupakan bentuk diseminasi terhadap hasil penelitian yang sudah dicapai selama ini. Saya meyakini pertemuan ini memberikan hal positif bagi perkembangan maritim di Indonesia,” katanya.
Indun Dwi Puspita SP MSc PhD selaku ketua panitia mengungkapkan Internasional Symposium Marine and Fisheries Research (ISMFR) merupakan perluasan dari kegiatan seminar nasional yang diselenggarakan Oleh Departemen Perikanan, Fakultas Pertanian UGM. Seminar ini pun mendapat perhatian dari para peserta.
“Internasional Symposium Marine and Fisheries Research, ISMFR yang kedua kali ini merupakan perluasan seminar nasional perikanan yang setiap tahun dilaksanakan oleh Departeman Perikanan, Fakultas Pertanian UGM. Dengan jumlah peserta yang terus meningkat, dan kualitas makalah yang semakin meningkat maka kami memperluasnya menjadi level internasional,” kata Indun Dwi Puspita.
Untuk kali ini, ISMFR fokus pada terjadinya perubahan iklim yang lagi menjadi isu hangat. Dalam simposium ini, dikupas beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebagai antisipasi dan kesiapan di bidang perikanan dan kelautan dalam menghadapi perubahan iklim tersebut.
“Seperti diketahui bersama produksi ikan, baik penangkapan maupun budidaya sangat dipengaruhi oleh iklim. Karena itu, kalau untuk di lautan membutuhkan plankton dan fito plankton yang sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya maka suhu yang berubah juga bisa memengaruhi jumlah produksi,” katanya.
Meski kemungkinan tidak menghasilkan kebijakan, Indun berharap dalam simposium ini terjalin kerja sama-kerja sama untuk menyamakan persepsi di bidang perikanan. Apa-apa yang harus dikembangkan dan mengaitkan disiplin ilmu satu dengan yang lain untuk melihat persoalan perikanan dalam menghadapi perubahan iklim secara komprehensif.
“Departemen Perikanan sudah menjalin beberapa kolaborasi, dengan Universitas Sydney, di Australia dalam manajemen penyakit perikanan, New Zealand untuk pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup, dan Kepulauan Solomon untuk pengembangan produk-produk perikanan,” katanya.
Simposium diikuti ratusan peserta, sebagian peserta dari luar negeri Malaysia, Philipina dan Jepang. Sementara 11 pembicara dari luar negeri menyumbangkan pemikirannya, diantaranya Prof Susumu Ohtsuka dari Hiroshima University, Japan dan Prof Chris Carter dari University of Tasmania, Australia. (sak)