Kisah Menteri BUMN Terkait PT Freeport
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Kisah Menteri BUMN Terkait PT Freeport

Pengalihan mayoritas saham PT Freeport ke BUMN Indonesia dikenal sebagai proses divestasi terumit sepanjang sejarah corporate action. Selain melibatkan proses politik yang ‘banyak makan korban’, rentang waktunya panjang sekali, juga kental dengan nuansa strateginya.

Prof Rhenald Kasali, pendiri program doktor ilmu strategi Fakultas Ekonomi UI punya catatan kisah sendiri tentang pengalihan saham ini.

Kisah ini terutama tentang bagaimana 3 perempuan Indonesia, yaitu Siti Nurbaya (Menteri LHK), Rini Soemarno (Menteri BUMN) dan Sri Mulyani (Menkeu) mengajarkan PT Freeport Indonesia (FI) untuk patuh terhadap UU yang berlaku di Indonesia.

Mereka meminta PT FI menjalankan janji-janji yang belum dieksekusi setelah negosiasi dengan presiden-presiden di masa lalu. Janji-janji itu diantaranya: divestasi saham dan membangun smelter, lalu beralih dari rezim kontrak karya (kebijakan tahun 1971) ke rezim baru menurut UU Minerba No. 4/2009.

Jadi induk Freeport yang berkedudukan di New York dipaksa mengubah pola pikir dan kebiasaan selama ini dengan Indonesia. Semudah itukah?

Mungkin kisah Sri Mulyani dalam usaha divestasi saham Freeport sudah banyak yang tahu, namun belum banyak yang tahu tentang peranan Rini Soemarno. Rini memang sempat mendengar isu bahwa PT FI bisa diambil tanpa bayar pada tahun 2021. Tetapi sebagai mantan CEO Astra Internasional ia tahu persis semua itu omong kosong.

Itu sama Ibaratnya dijanjikan akan mendapatkan iPhone bersampul emas. Alih-alih Iphone, yang yang tertinggal bisa jadi cuma sampulnya saja. Teknologinya pasti dibawa pulang asing. Belum lagi tuntutan-tuntutan hukumnya.

Kalaupun dibawa ke Mahkamah Agung RI, mungkin kita bisa menangkan. Masalahnya, kasus ini akan dibawa ke ranah arbitrase internasional. Kemungkinan menangnya di bawah 40%. Jadi satu-satunya jalan adalah negosiasi secara rasional agar kita jangan sampai mendapat sampul emasnya saja.

Rini Soemarno pada tahun 1999 pernah menjadi CEO PT Astra Internasional sebagai CEO, dan pada saat itu ia ditugasi mengatasi kerugian sebesar Rp7,3 T yang membuat Astra nyaris bangkrut.

Pada saat itu, ia melakukan restrukturisasi besar-besaran, sehingga pada tahun 2010, harga saham Astra Internasional berhasil menembus angka Rp40.550. Kenaikan harga saham dan upaya penyelamatan Astra ini membuat Rini mendapat kepercayaan dari Astra.

Lantas apa hubungannya dengan Freeport? Ternyata, salah satu investor Astra itu, Capital Research & Management Co hari ini adalah salah satu pemegang saham penting dari Freeport McMoran, di samping Vanguard dan Icahn.

Rini tidak menyia-nyiakan info itu. Apalagi para eksekutif Capital sudah lama mengenal reputasinya. Ia segera mengontak Capital dan berangkat ke New York.

Dari portofolionya sebesar USD 100 Miliar, mereka ternyata menguasai portofolio dalam bidang tambang yang cukup besar, sekitar USD 40 B. Bisa dibayangkan betapa takluknya para CEO perusahaan tambang pada investor besar ini.

Singkat cerita Capital pun bekerja dan berhasil menjelaskan kepada publik bahwa Indonesia telah berubah. Indonesia juga mendapatkan rating bagus dari Moody’s and Fitch Group.

Dari sini, jalan terbuka. Richard Adkerson, sebagai CEO PT FI menjadi lebih kooperatif. Dari sinilah kemudian Indonesia mengutarakan minatnya untuk membeli saham PT FI sebesar 42%.

Dari sini kejutan lain terbuka, dari pembicaraan dengan Richard Adkerson, diketahui bahwa saat ini Freeport-Mcmoran hanya memiliki saham sebesar 51% dari total saham Freeport, bukan 91%.

Mengapa begitu? Ternyata, saham 91% tersebut pada tahun 1993 telah dibagi ke perusahaan material asal Inggris, Rio Tinto dalam bentuk Participating Interest (PI), sehingga Rio Tinto dapat menikmati 40% keuntungan Freeport sebelum dibagi kepada pihak Indonesia.

Freeport beralasan perlu menggandeng Rio Tinto untuk mendapatkan Capex (Capital Expenditure) dan Opex (Operating Expenditure) dalam mengoperasikan tambang itu.

Dokumen terkait keberadaan Rio Tinto ini ternyata benar-benar tersembunyi. Setelah ditemukan, mereka harus putar otak lagi. Cari strategi lagi karena persoalan tambah rumit.Tetapi menurut teman-teman di Kementerian BUMN, terjadi “Mestakung” (semesta mendukung – meminjam istilah pakar Fisika, Yohanes Surya).

Rini memutuskan untuk berangkat lagi menemui CEO Rio Tinto. Mestakungnya, ternyata Rio Tinto justru sedang berkeinginan menjual haknya. Tinto ingin beralih ke tambang lain.

Artinya ia bersedia mengalihkan haknya ke Indonesia. Hanya saja Indonesia membutuhkan saham, bukan PI. Indonesia ingin belajar mengelola, memimpin dan berbisnis yang lebih besar. Bukan cuma mencicipi buahnya saja.

Sempat mengganjal sebentar. Tetapi sikap investor sudah positif mendukung Indonesia. Freeport akhirnya mengalihkan hak Rio Tinto itu menjadi saham.

Cerita-cerita dibalik layar ini menurut Prof Rhenald Khasali, perlu diketahui banyak orang, agar tahu nilai perjuangan para pemimpin bangsa kita saat ini. Bahwa hasil adalah sebuah proses panjang dari sebuah perjuangan yang tidak mudah. (ist)