Keluhuran Nilai Masyarakat Banten
PERISTIWA SENI BUDAYA

Keluhuran Nilai Masyarakat Banten

Hati aparatur pemerintahan di Provinsi Banten tengah berbunga-bunga. Betapa tidak, dari sekian banyak kekhasan daerahnya, lima di antaranya ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.

Kelima warisan budaya itu adalah kacapi buhun, golok Sajira, kue jojorong, carita pantun Baduy, dan Gotong Toapekong 12 Tahunan.

Sertifikat atas penetapan Warisan Budaya tak Benda itu diterima langsung Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar dari Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon, didampingi Wakil Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Giring Ganesha, pada acara Apresiasi Warisan Budaya Indonesia tahun 2024.

Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar dalam keterangannya di Serang, Selasa (19/11) mengucapkan syukur dan menyebut bahwa pencapaian itu merupakan hasil kolaborasi dan sinergi semua pihak terkait, mulai dari pelaku seni, komunitas dan pihak-pihak lainnya.

“Terima kasih atas telah ditetapkannya lima Warisan Budaya tak Benda asal Provinsi Banten. Ini merupakan hasil kolaborasi dan sinergi semua pihak terkait, mulai dari pelaku seni, komunitas dan pihak-pihak lainnya,” katanya.

Mari kita mengenal lebih jauh satu per satu dari kelima warisan budaya asal Lebak, Banten itu. Yang pertama adalah alat musik tradisional yang dinamai kacapi buhun.

Sebagaimana halnya kecapi yang menjadi alat musik tradisional di daerah lain, alat musik berdawai atau bersenar khas Baduy itu juga dimainkan dengan cara dipetik.

Namun, nada-nada yang dihasilkan oleh kacapi buhun memiliki perbedaan dengan alat musik kecapi pada umumnya. Sebab, pada alat musik itu tidak ada tingkatan nada atau nadanya tidak tertentu. Alhasil, pemain kacapi buhun relatif menggunakan perasaan dalam melantunkan bebunyian dari alat musik itu.

Karena keunikannya itu, hingga kini diketahui bahwa hanya ada 20 lagu yang dapat diiringi oleh kacapi buhun. Dan ke-20 lagu yang merupakan warisan turun-temurun kokolot Baduy atau leluhur itu.

Antara lain adalah kembang kacang, ngala parasi, suluh kadu, cina modar, mulung picung, rancag perang, kawuruhan, kangkung kayang, munggal iris, piit mandi, guguritan, pengirihan rayon, racik numbang, dagang kembang, dan ganjur perang.

Sebagai alat musik tradisional, kacapi buhun tidak dianggap sebagai alat musik belaka oleh masyarakat suku Baduy. Kelompok masyarakat adat Sunda yang mendiami wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten itu bahkan memandang kacapi buhun sebagai alat musik yang sakral.

Hal itu lantaran pembuatan alat musik tersebut dilakukan melalui sebuah ritual iringan. Berbahan baku utama kayu lame, proses pembuatan sebuah kacapi buhun sendiri setidaknya menelan waktu hingga dua minggu.

Oleh karena mengandung sifat sakral, kacapi buhun juga acap digunakan sebagai sarana dalam sejumlah ritual adat. Di antaranya, ritual saat hendak menanam padi, membangun rumah, atau untuk acara tertentu seperti pernikahan.

Dari ukurannya, kacapi buhun relatif berbeda dengan alat musik petik sejenisnya. Kacapi buhun berukuran lebih kecil, sehingga bisa dipetik sambil dibawa-bawa oleh pemainnya.

Sedangkan untuk jumlah senarnya, kacapi buhun memiliki 12 senar, atau lebih banyak dari kecapi biasanya, yang hanya memiliki tiga, enam, ataupun delapan senar.

Dari sudut fungsinya, kacapi buhun termasuk dalam kategori instrumen tunggal, alias tidak bisa dimainkan dengan diiringi bersama dengan alat musik lainnya. Kacapi buhun hanya bisa dimainkan dengan iringan pantun kuno.

Kendati kurang begitu dikenal luas, kacapi buhun nyatanya telah dijadikan sebagai salah satu suvenir khas Baduy. Dengan harga jual mulai dari Rp700 ribu hingga Rp1 juta per unitnya, alat musik yang diperjualbelikan sebagai suvenir itu tetap dibuat dengan menggunakan banyak tahapan ritual maupun pembacaan mantra-mantra.

Kudapan Tamu Sultan
Warisan budaya kedua yang juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda adalah penganan yang dikenal dengan nama Jojorong. Kudapan ringan khas Lebak itu acap menjadi hidangan bagi para tamu kesultanan.

Jojorang terbuat dari tepung beras dan santan kelapa. Di bagian tengahnya, terdapat gula aren, yang menjadikan kue bertekstur lembut dan pulen itu memiliki rasa yang manis dan gurih. Berbahan santan, membuat jojorong harus langsung disantap ketika disajikan.

Tempat atau mangkuk kue jojorang berbentuk persegi dan terbuat dari daun pisang. Di setiap ujung daun pisang itu diikat menggunakan tusuk gigi.

Kue jojorong sendiri dapat ditemukan di banyak tempat di wilayah Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Apalagi, saat digelar acara hajatan di daerah Banten, terutama Kabupaten Lebak dan Pandeglang.

Pada acara sunatan atau pernikahan, jojorong menjadi sajian tuan rumah bagi para tamu yang disandingkan dengan makanan trandisional lain. Meski begitu, ketika Ramadan tiba, pencinta jojorong akan lebih mudah menemukan kue tersebut. Sebab, jojorang juga menjadi makanan yang wajib ada saat menemani masyarakat Banten berbuka puasa.

Carita pantun Baduy merupakan tradisi lisan masyarakat adat Baduy yang juga ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya tak Benda. Di kalangan masyarakat dengan populasi 26.000 jiwa dan yang mendiami pedalaman di kawasan paling barat Pulau Jawa itu, tradisi lisan itu akan dibawakan pada saat dilangsungkan acara ritual maupun adat.

Tradisi tersebut memadukan bentuk pantun—puisi tradisional Melayu yang biasanya terdiri dari empat baris dengan rima—dengan narasi cerita rakyat. Melalui carita pantun Baduy masyarakat setempat menyampaikan cerita-cerita mitos, legenda, sejarah, dan ajaran moral yang penting untuk identitas mereka.

Dengan gaya penyampaian yang khas dan struktur yang terjaga, carita pantun tidak hanya berfungsi sebagai media pendidikan. Melainkan juga, sebagai sarana pelestarian budaya.

Warisan budaya berikutnya adalah golok Sajira yang merupakan paduan dari karya seni dan senjata khas masyarakat Lebak, Banten. Dalam dunia penempaan logam Kampung Lembur Sawah, yang merupakan sebuah desa di Kecamatan Sajira, Lebak, Banten, memang dikenal sebagai tempat awal berkembangnya sentra pembuatan golok.

Seni tempa logam di Sajira itu bahkan telah tercatat dalam dokumen Belanda pada 1983, yang membuktikan keberadaan gozali atau para pande di kawasan itu.

Penempaan logam untuk dibuat sebagai senjata di Sajira bahkan sempat diperhitungkan oleh Belanda sebagai salah satu titik alutsista perlawanan masyarakat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Banten.

Sajira sendiri merupakan salah satu dari 28 kecamatan yang ada di Lebak, yang memiliki luas 10.259 hektare dan berada pada ketinggian sekitar 240 Mdpl.

Uniknya selain keberadaan pande besi, wilayah Sajira juga dikenal sebagai sentral kerajinan ukir (marangi). Oleh karena itulah, sejak lama gagang golok maupun sarung golok dari Sajira memiliki ciri khas sendiri yang membedakan dengan benda sejenis yang berasal dari luar wilayah Sajira.

Gagang golok Sajira lazimnya terbuat dari bahan utama berupa tanduk kerbau atau kayu keras. Sajira yang berada di dataran tinggi memang dikenal memiliki kekayaan flora, antara lain yang menghasilkan kayu-kayu keras seperti kayu nagasari, asam jawa, johar, sawo, gadog, dan kijulan.

Dengan tanduk atau kayu, gagang atau sarung golok Sajira didesain dengan berbagai jenis motif yang menggambarkan filosofi kehidupan masyarakat sehari-hari di sana.

Warisan budaya lainnya yang juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda adalah Gotong Toapekong 12 Tahunan. Aktivitas budaya itu merupakan ritual konik khas kebudayaan Tionghoa (Cina Benteng) yang dirayakan oleh masyarakat Tionghoa yang mendiami kawasan Banten, khususnya di Tangerang.

Diselenggarakan setiap 12 tahun sekali. dalam penyelenggaraan ritual itu akan digelar arak-arakan patung bersejarah, di antaranya Dewi Kwan Im Hud Couw.

Perayaan tersebut biasanya akan menyedot perhatian dan dihadiri oleh ribuan masyarakat, baik dari kalangan Tionghoa atau lainnya, yang ada di Banten maupu luar Banten.

Pada 2024 usulan Warisan Budaya tak Benda yang masuk sejumlah 668 usulan, setelah melalui serangkaian penilaian dan sidang penetapan. Maka sebanyak 272 ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda Indonesia, sehingga jumlah Warisan Budaya tak Benda Indonesia yang telah ditetapkan sejumlah 2.213.

Pada 2024 terdapat 17 sertifikat cagar budaya peringkat nasional yang diberikan, mencakup kategori benda, struktur, bangunan, situs dan kawasan. Sehingga saat ini ada 228 objek yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat nasional. (indonesia.go.id)