Para dekan yang tergabung dalam Asosiasi Institusi Kedokteran Indonesia (AIPKI) menilai bahwa pemberhentian secara tiba-tiba Dekan FK Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang juga menjabat sebagai Ketua AIPKI, Prof Dr dr Budi Santoso SpOG(K) tak menghargai kebebasan akademik.
“Keputusan (pemberhentian) itu kami pandang sebagai bentuk tidak menghargai kebebasan akademik yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan pendidikan tinggi,” ujar para dekan yang tergabung AIPKI dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (04/07) malam.
Selain itu, dalam poin kedua pernyataan sikap tersebut, para dekan juga menekankan bahwa pemberhentian mendadak itu tidak hanya berdampak negatif terhadap individu yang bersangkutan, tetapi juga mengganggu kestabilan kelembagaan dan proses akademik di FK UNAIR.
Para dekan menyerukan agar setiap keputusan strategis yang menyangkut pemimpin akademik mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas dan melibatkan proses yang transparan dan partisipatif.
Poin ketiga, terkait integritas akademik sebagai salah satu pilar utama yang harus dijaga oleh setiap institusi pendidikan tinggi, para dekan menegaskan bahwa pemberhentian yang tidak melalui proses yang jelas dan adil berpotensi merusak kepercayaan komunitas akademik dan publik terhadap institusi pendidikan tersebut.
Poin keempat, terkait komitmen terhadap profesionalisme dan etika, para dekan mengingatkan bahwa posisi pimpinan akademik seperti dekan memerlukan penanganan yang profesional dan etis.
Menurut para dekan, tindakan pemberhentian secara tiba-tiba mencerminkan kurangnya komitmen terhadap nilai-nilai profesionalisme dan etika dalam manajemen akademik, sehingga mereka mendesak agar keputusan tersebut ditinjau kembali dengan mengedepankan dialog yang konstruktif dan berdasarkan prinsip keadilan.
Poin kelima, para dekan menilai, sebagai ketua AIPKI, dekan FK UNAIR memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan pendidikan kedokteran di Indonesia, sehingga mereka menyatakan dukungan kami kepada Budi dan berharap agar keputusan pemberhentian tersebut tidak menghalangi upaya bersama dalam meningkatkan mutu pendidikan kedokteran di tanah air.
Melalui lima poin pernyataan sikap tersebut, para dekan berharap dapat menjadi perhatian bagi semua pihak terkait dan mendorong terciptanya iklim akademik yang lebih baik dan berkeadilan.
Dukungan
Ribuan masyarakat telah menandatangani petisi penolakan pemberhentian Budi. Pemberhentian itu disebut-sebut karena Prof Bus, panggilan akrab Budi, menolak program pemerintah yang akan mendatangkan dokter asing ke Indonesia. Padahal, menurut masyarakat dan insan pendidikan, Budi Santoso berhak mengeluarkan pendapat. Oleh karena itu, muncul petisi yang menilai pencopotan itu terlalu mendadak.
“Kami segenap masyarakat dan Insan Akademis Indonesia mendukung segala bentuk kebebasan berpendapat yang merupakan Hak Konstitusional warga negara yang dijamin oleh Konstitusi. Maka segala bentuk tindakan pengekangan berpendapat, intimidasi dan teror adalah pelanggaran nyata terhadap konstitusi yang sah,” tulis petisi itu dikutip dari petisionline.com pada Kamis (04/07).
Berdasarkan pantauan Tempo pada Kamis malam, pukul 22.05 sudah ada 2.833 orang yang mengisi petisi tersebut. Di sana, mereka menuntut rektor untuk mengembalikan jabatan Budi. Mereka juga meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Makarim untuk mengembalikan jabatan tersebut, serta memulihkan nama baik Budi.
Melihat dari daftar yang mengisi, petisi itu tak hanya diisi oleh dosen atau guru besar tetapi juga dari kalangan mahasiswa Unair maupun kampus lain. Tak hanya itu, ada juga dari anggota Ikatan Dokter Indonesia, serta tenaga kesehatan dari rumah sakit di berbagai daerah.
Dukungan juga terlihat melalui fitur template dari Instagram. Template itu menampilkan cuplikan berita-berita mengenai pemberhentian Budi, serta mencantumkan tagar #kembalikankebebasanberpendapat dan #saveprofbus. Template itu sudah mendapat balasan sebanyak 8,1 ribu orang pada Kamis malam. (ist)