Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyempatkan diri untuk berdialog dengan para peserta yang terdiri dari petani, pemilik penggilingan padi, dan pengusaha pupuk bersubsidi.
Hal tersebut dilakukan Presiden dalam acara Silaturahim dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) serta Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) se-Jawa Tengah, di Gedung Olahraga (GOR) Diponegoro Sragen, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Rabu (3/4).
Saat berdialog dengan Endang, pengusaha penggilingan padi dari Jenar, Sragen, Presiden mendapatkan informasi bahwa yang bersangkutan telah memiliki mesin penggilingan sejak 2001 atau sudah berjalan 18 tahun.
Selanjutnya, Presiden bertanya apakah hanya penggilingan saja atau ada pengeringan, dan pengemasan, Endang menjawab penjemuran masih manual yakni dijemur sebagaimana biasa.
“Nah, ini perlu saya ingatkan pemilik-pemilik penggilingan. Sekarang ini zamannya, zaman modern gitu loh,” ujar Presiden seraya menambahkan sejak kecil sudah melihat bahwa setelah panen pasti dijemur di jalan-jalan atau pelataran.
Hal ini yang perlu diubah, lanjut Presiden, bahwa penggilingan harus memiliki dryer. Ketika ditanya Presiden kenapa belum memiliki pengering, Endang menjawab saat ini belum ada dana.
Lebih lanjut, Presiden bertanya mengenai kemungkinan meminjam dana dari bank untuk membeli dryer, Endang menyampaikan permohonan bantuan karena untuk beli gabah saja petani sudah pinjam dari bank.
Pada dialog kedua, Presiden berdialog dengan Panio, petani dari Tilemsari, Ngrampal, Sragen. Panio, yang memiliki sawah seluas 1 hektar, menyampaikan kepada Presiden bahwa saat panen hasilnya mencapai 9,5 ton.
Menjawab pertanyaan Presiden mengapa hasilnya sebanyak itu, Panio menyampaikan bahwa dirinya memakai pupuk tambahan, karena pupuk subsidi itu kurang.
Jatah pupuk subsidi itu kurang, menurut Panio, sehingga dirinya memakai pupuk tambahan sehingga saat panen bisa menghasilkan 9,5 ton yang ketika dijual mencapai Rp 500 ribu per kwintal.
Hasil panen tersebut, menurut Panio, dipanen sendiri memakai mesin potong setelah itu baru mengundang penjual gabah ditimbang di tempat dan dibayar langsung di situ.
Dengan harga demikian, Presiden menghitung bahwa penghasilan yang didapatkan oleh Panio sebesar Rp 47,5 juta. Kisaran ongkos biaya garap bersih sebesar Rp 15 juta, lanjut Presiden, berarti Panio masih memiliki hasil sebesar Rp 32,5 juta.
Jika dihitung dengan masa tunggu selama 4 bulan, lanjut Presiden, maka Panio bisa mendapatkan Rp 8 juta per bulan.
“Ngeten loh, saya mau berpikir kalau 4 bulan nggih panjenengan dapat 32,5 juta artinya sebulannya dibagi 4. Rp 8 juta loh, nggih Rp 8 juta. Gaji bupati niku 5 juta, panjenengan dapat Rp 8 juta, ageng panjenengan no. Disyukuri ngeten loh,” ujar Presiden.
Ketika dialog ketiga, Presiden berbincang dengan Slamet Riyadi, pengusaha pupuk subsidi dari Sumberlawang.
Saat dialog tersebut, Presiden mendapatkan informasi bahwa banyak petani masih mengeluh kekurangan pupuk subsidi, terutama untuk musim ini yang jatahnya dikurangi hampir sepertiga.
Soal kekurangan pupuk, Presiden mengaku pernah bertanya kepada produsen pupuk katanya stok melimpah sedangkan dengan penjual dan petani kurang.
Kekurangan tersebut, menurut Slamet saat ditanya Presiden, karena petani lebih condong menggunakan pupuk bersubsidi karena yang nonsubsidi harganya lebih mahal.
Harga pupuk Urea, jawab Slamet kepada Presiden, sebesar Rp 90 ribu per 50 kilogram (kg), sedangkan untuk pupuk nonsubsidi kemasan 10 kg sebesar Rp 60 ribu.
“Ya memang kalau harganya terpaut sangat jauh seperti itu ya larinya pasti semuanya ingin yang subsidi, nggih,” ujar Presiden di akhir sesi dialog dengan peserta.
Selain Ibu Negara Iriana, turut mendampingi Presiden dalam acara kali ini, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati. (sak)