Namanya Jafro Megawanto. Ada kata “mega” di sana yang artinya “awan (di langit)”. Kebetulan, saat ini Jafro sering terbang tinggi dan melayang di langit berjumpa dengan gumpalan awan.
Pemuda kelahiran Malang, 18 Maret 1996 ini merupakan atlet Paralayang yang bakal menjadi wakil Indonesia pada Asian Games 2018.
Sebelum menjadi atlet, Jafro dulunya seorang tukang lipat parasut atau lazim disebut para boy. Ia mengaku diupah sekitar lima ribu rupiah. Hal itu pertama kali dilakukannya pada usia 13 tahun.
Ia melakukannya untuk dua hal. Pertama menambah uang saku, sekaligus membantu orang tuanya yang bukan dari golongan keluarga mampu secara finansial. Kedua untuk mempelajari hal-hal dari olahraga paralayang.
Jafro mengaku tertarik dengan olahraga ekstrem ini sedari kecil. Maklum, rumahnya hanya berjarak 500 meter saja dari lokasi pendaratan.
Hampir setiap hari ia menyaksikan atlet-atlet paralayang melayang-layang di langit Batu, Malang, Jawa Timur. Dari situ ia mulai bermimpi, bahwa suatu hari nanti ia sendiri yang bakal melayang di udara bersama parasut yang sering ia lipat itu.
Selama dua tahun menjadi para boy, manajer tim paralayang bernama Yosi Pasha, coba membujuknya untuk bergabung dalam latihan. Tentu saja tawaran itu tidak disia-siakan oleh Jafro. Pada usia 15 tahun, Jafro pertama kalinya menjajal olahraga paralayang.
Hari demi hari Jafro jalani dengan sepenuh hati. Maklum ia sedang menjemput impian untuk menjadi seorang atlet paralayang. Sampai akhirnya ia lulus ujian lisensi dan berhak mendapatkan PL 1 junior atau semacam SIM bagi pilot paralayang.
Namun untuk jadi atlet, lisensi PL 1 saja tak cukup. Setidaknya ia masih harus menjalani 40 kali terbang lagi untuk menambah jam terbang dan pengalamannya di udara.
Jarak dari rumah ke tempat latihan sering Jafro tempuh menggunakan ojek. Pada saat itu ia belum punya sepeda motor sendiri.
Ongkos pulang pergi yang lumayan, membuat kedua orang tua Jafro kewalahan. Sempat keluar dari mulut orang tuanya agar Jafro berhenti saja dari latihan paralayang.
Jafro tentu sedih, tetapi ia mengerti kondisi keluarganya. Alih-alih mengubur mimpi jadi atlet paralayang, Jafro justru semakin giat berlatih. Seperti kata pepatah bahwa usaha tak akan pernah mengkhianati hasil, usaha keras Jafro diganjar berbagai medali kejuaraan.
Di level nasional, Jafro berhasil menyumbang 1 emas untuk Jawa Timur dalam PON 2016 di Jawa Barat. Kemudian satu tahun setelahnya, Jafro keluar sebagai yang terbaik dalam Kejuaraan Nasional di Wonogiri.
Tahun 2017 pula Jafro Megawanto bertanding pertama kalinya di luar negeri. Tepatnya dalam ajang Paragliding Accuracy World Cup (PGAWC) di Kanada, Jafro berhasil keluar sebagai juara 2.
Perlu diketahui, saat itu ia adalah pendatang baru dalam kejuaraan itu. Lawannya adalah pilot-pilot paralayang yang sudah memiliki jam terbang tinggi.
Namun status rookie tidak lantas membuatnya minder. Justru ia buktikan kepada dunia bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika terus berusaha dan memiliki tekad yang kuat.
“Ya untuk pertama kalinya pasti ngeri. Normal. Tapi lama kelamaan saya menikmati penerbangan dan akhirnya asyik juga,” kata Jafro ketika ditanya bagaimana suasana di atas sana bersama parasut.
Kini, Jafro bersama timnas paralayang Indonesia siap tampil maksimal pada Asian Games 2018. Menurut Jafro, rival terberat Indonesia bukanlah dari negara-negara lain, melainkan diri sendiri.
Maklum Indonesia memang dikenal jago dalam olahraga ekstrem ini. Bahkan Indonesia menempati peringkat satu dunia berdasarkan penghitungan poin oleh Federation Aeronautique Internationale (FAI).
Sehingga tak heran, Jafro dan atlet paralayang lainnya jadi tumpuan Indonesia untuk mendulang emas. Jafro sudah berhenti melipat, kini ia sedang membentangkan mimpi di udara dengan olahraga paralayang. Semoga mimpi itu terus mengangkasa agar nama baik Indonesia juga ikut tinggi bersama tekad dan prestasinya. (ist)