Selepas tengah hari, pada Kamis (07/072), di pasar spot Jakarta rupiah masih melambung tipis di atas ambang 15 ribu dan akhirnya mendarat di angka Rp15.090 per dolar Amerika Serikat (USD) di sore harinya. Naik 30 poin dari sehari sebelumnya.
Bila ditera dari posisi pada 28 Juni 2022, saat nilai USD mulai merambat naik, ada lonjakan 214 poin atau sekitar 1,4 persen.
Namun, pada Jumat (08/07), pergerakannya berbalik arah. Rupiah menguat tipis atas USD, dan nilai tukarnya dalam exchange rate on transaction yang direkam BI, sebesar 30 poin. Kurs rupiah per satu USD tercatat Rp15.060.
Bank Indonesia (BI) meyakini, nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat. Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Edi Susianto mengatakan, penguatan rupiah mungkin bisa terus berlangsung, karena nilai tukar dolar AS sudah sampai di titik tertinggi.
Laman Market Watch, pada Jumat (08/07) sore mencatat, indeks dolar AS (DXY) sudah mencapai 107,44. Indeks itu yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. “Jadi, kemungkinan terkoreksi sangat terbuka,” kata Edi Susianto.
Gerak pelemahan nilai tukar rupiah itu terasa sejak Maret 2022. Saat itu, The Fed sebagai institusi yang berperan sebagai Bank Sentral di Amerika Serikat mulai menaikkan suku bunga acuan, untuk menekan inflasi yang membumbung tinggi. Inflasi year on year (yoy) pada Maret 2022 di AS telah menyentuh level 9,7 persen, yang tertinggi sejak Januari 1981.
AS memang sedang menghadapi problem inflasi yang cukup berat, terutama akibat kenaikan harga pangan dan energi. Penyebabnya, mula-mula adalah pandemi Covid-19, yang kemudian dipicu naik oleh dampak perang di Ukraina.
Pada 2020, inflasi di AS masih pada level 1,23 persen, lantas naik ke 3,2 persen di 2021. Baru pada 2022, inflasi melonjak ke level yang lebih serius.
Pada Februari inflasi di AS melonjak ke angka 6,2 persen, lalu terungkit ke level tertinggi 9,7 persen pada Maret. Bulan April menyusut tipis ke 9,6 persen, lalu turun ke 8,8 persen pada Mei.
Pada Juni lalu, menipis ke 8,6 persen. Harga-harga melonjak. Warga AS mengeluh dan banyak orang yang mendadak menjadi gelandangan karena tak mampu membayar sewa hunian yang melonjak.
The Fed (Federal Reserve) tidak tinggal diam. Ia menaikkan suku bunga acuannya sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang semester pertama 2022. Mula-mula The Fed mulai menaikkan sebesar 25 bps ke kisaran 0,25–0,5% pada Maret 2022.
Namun, kebijakan itu dianggap belum cukup. Mei 2022, kembali dinaikkan sebanyak dua kali, setinggi 50 dan 25 bps ke kisaran 0,75–1%. Belum cukup juga, maka pada Juni 2022 suku bunga acuan kembali dinaikkan sebesar 55 bps ke kisaran 1,-5-1,75%. Kenaikan ini merupakan yang paling agresif sejak 1994.
Instrumen suku bunga ini biasa digunakan untuk mengerem inflasi, dengan menarik uang ke bank atau lembaga investasi. Tentu, dengan iming-iming bunga yang lebih tinggi. Bunga kartu kredit dan bunga pinjaman naik.
Konsumsi masyarakat susut, investasi meningkat dan yang khas di AS adalah orang berbondong-bondong membayar utang morgage mereka, karena beban bunganya semakin tinggi.
Ekonomi cenderung menurun, tapi inflasi lebih terkendali. Risiko penurunan kue ekonomi itu telah diperhitungkan oleh Pemerintah AS. Yang penting inflasi terkendali. Pertemuan Kongres AS dan The Fed, pada Mei lalu, menyepakati kebijakan kenaikan suku bunga yang agresif untuk mencapai penurunan inflasi ke level 4,7 persen di akhir 2022.
Kebijakan The Fed itu berdampak secara luas. Nilai mata uang asing merunduk di depan USD. Asian Bonds Online menunjukkan, dalam semester I-2022, yen Jepang terdepresiasi sedalam 14,89 % terhadap dolar AS, year to date (ytd).
Mata uang Korea Selatan (won) melemah 8,27% (ytd). Peso Filipina terdepresi 7,42% (ytd), Thailand (baht) turun 6,66% (ytd). Lalu, Malaysia (ringit) terkikis 5,46% (ytd), yuan Tiongkok merosot 5,15%, rupiah melemah 4,55%, dan dolar Singapura menciut 3,42%.
Pelemahan atas sejumlah mata uang itu tidak terelakkan karena kebijakan The Fed mempengaruhi sikap pelaku pasar modal dan pasar uang di seluruh dunia.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Edi Susianto menyebut, setidaknya pengaruhnya menyentuh pada dua isu utama. Yang pertama, ada kekhawatiran bahwa situasi ini akan berdampak pada anjloknya kinerja ekonomi ekonomi global yang berujung pada resesi.
Yang kedua, bayangan resesi ini mendorong investor di pasar global mencari instrumen investasi yang aman (safe haven) dari ketidakpastian ini. Safe haven yang dicari lagi-lagi ialah dalam bentuk dolar AS. Maka, USD kembali diburu di mana-mana untuk diboyong kembali ke AS. Harganya tentu melonjak.
Dalam situasi ekonomi yang gelisah itu, Bank Indonesia (BI) tidak tinggal diam. Berbagai intervensi dilakukan BI agar nilai tukar rupiah pulih lebih cepat.
Edi Susianto bahkan menyebut BI melakukan intervensi rangkap tiga (triple intervention). Ketiga intervensi tersebut yaitu intervensi di pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian SBN di pasar sekunder.
Tidak kurang pentingnya ialah kiprah eksportir nasional yang turut menjaga keseimbangan supply-demand, hingga pelemahan rupiah lebih terkendali. BI pun terus menjaga kondisi likuiditas rupiah dalam level yang optimal.
Selain itu, kondisi cadangan devisa RI masih cukup bugar. BI melaporkan, di tengah tekanan valas itu,di akhir Juni 2022 posisi cadangan devisa RI mencapai USD136,4 miliar, naik tipis dari posisi pada akhir Mei 2022 yang sebesar USD135,6 miliar.
Di tengah situasi moneter yang dinamis ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi Indonesia masih cukup baik,setidaknya tecermin dari kondisi neraca transaksi berjalannya. “Beberapa indikator ekonomi memang masih akan terus bergerak dinamis. Namun, dari sisi neraca pembayaran, kondisinya cukup baik,” ujar Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Selasa (05/07).
Neraca transaksi yang berjalan pada kuartal I-2022 mengalami surplus, melanjutkan capaian akhir tahun 2021 yang juga surplus. Hingga akhir Mei 2022, cadangan devisa juga mencapai 135,6 miliar, setara dengan pembiayaan enam bulan impor dan utang luar negeri pemerintah. (indonesia.go.id)