Kabar gembira datang dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mampu mengembangkan tempat sampah ramah lingkungan yang mampu mengolah limbah masker medis menjadi bahan organik.
Ya, sejak pandemi Covid-19 melanda negeri ini, persoalan limbah medis menjadi pekerjaan rumah tambahan untuk menguraikannya. Volume limbah medis melonjak luar biasa ketika masyarakat memakainya untuk perawatan maupun sebagai pencegahan penularan virus corona.
Kondisi meningkatnya limbah medis ini, mendorong para mahasiswa UGM tersebut menciptakan tempat sampah ramah lingkungan. Piranti ini, menurut mereka, dari hasil uji coba dapat menguraikan bahan-bahan polutif yang sulit diurai dari limbah medis.
“Proses pengolahan sampah masker medis ini menggunakan cara yang paling ramah lingkungan karena tidak meninggalkan bahan yang sulit terurai di lingkungan,” kata Ketua Tim Pengembang Muhammad Ardillah Rusydan di Yogyakarta, Selasa (07/09).
Tempat sampah ramah lingkungan tersebut dikembangkan Ardillah bersama Gizela Aulia Agustin (Biologi), Isthafaina Dea Fairuz (Gizi Kesehatan), dan Asyifa Rizki Daffa (Teknik Nuklir 2020) lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) UGM.
Tempat sampah ramah lingkungan itu dibuat dengan menambahkan agen biodegradasi berupa mikroba Pseudomonas aeruginosa. Sebagai ilustrasi, limbah masker akan diurai oleh mikroba dalam waktu sekitar 10-14 hari.
Kendati proses degradasi memakan waktu yang lama, tetapi dengan pengembangan alat melalui penambahan sejumlah proses dapat mempercepat proses degradasi. “Proses pemanasan dan penambahan nutrient serta penambahan jenis mikroba akan dapat mempercepat proses degradasi dari sampah masker medis,” kata Ardillah, mahasiswa Fakultas Biologi UGM ini.
Tempat sampah itu juga dilengkapi dengan shredder di bagian atas yang berfungsi mencacah masker medis menjadi cacahan kecil. Pada bagian bawah shredder terdapat sensor ultrasonik yang telah disambungkan dengan mikrokontroler dan sprayer.
Dengan begitu, saat cacahan masker jatuh melewati sensor tersebut maka secara otomatis sprayer yang telah terisi dengan larutan bakteri akan menyemprotkan larutan tersebut ke arah cacahan masker medis. Di bagian dasar tempat sampah didesain sedemikian rupa agar cacahan masker yang telah terdegradasi oleh mikroba akan masuk ke tabung penampungan.
Kontribusi dari mahasiswa kampus itu merupakan salah satu dari upaya bersama mengatasi persoalan masalah limbah medis jika tidak diatasi segera akan memicu “bencana baru”, bisa berupa kasus infeksi menular lainnya. Limbah medis sudah dinyatakan masuk kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tri Laksana Handoko menyebutkan, sudah ada beberapa teknologi pengolah limbah ramah lingkungan yang sudah terbukti untuk mengatasi limbah B3, khususnya limbah medis berskala kecil dan mobile. Seperti teknologi pengolahan limbah cair dengan plasma nano-bubble, limbah padat dengan plasma, dan pengolahan limbah plastik medis menggunakan teknologi pelletizing dan rekristalisasi.
Sementara itu untuk pengolahan limbah jarum suntik, menggunakan mesin daur ulang APJS GLP Destromed 01 Needle Destroyer yang sudah memiliki paten dan izin edar. Menurut Handoko, teknologi tersebut cocok untuk menjangkau daerah-daerah yang penduduknya relatif sedikit dengan skala limbah tidak banyak dibandingkan dengan membangun insinerator yang besar dengan harga mahal dan terkendala dengan pengumpulan limbah yang terpusat.
Selain mampu meningkatkan kapasitas pengolahan limbah medis, teknologi daur ulang limbah medis karya anak bangsa itu juga berpotensi memunculkan nilai tambah dan ekonomi baru dalam rangka meningkatkan kepatuhan fasilitas kesehatan, karena ada insentif finansial dari sisi bisnis yang dapat mengurangi biaya pengolahan limbah.
Dalam suatu kesempatan, Menkominfo Johnny G Plate memaparkan, jumlah limbah medis meningkat hingga 30% per hari selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, rata-rata limbah medis mencapai 400 ton per hari. Kini, rata-rata limbah medis meningkat menjadi 520 ton per hari.
“Dari total limbah medis yang ada saat ini, masker menjadi penyumbang yang paling besar. Kita tahu masker digunakan secara umum baik di lingkungan penanganan Covid-19 ataupun tidak. Setidaknya, 16% limbah medis saat ini berasal dari masker,” ujar Menteri Johnny.
Oleh karena itu, Menkominfo memastikan, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mengatasi hal itu, salah satunya dengan membangun insinerator di berbagai daerah. Pembangunan insinerator yang diinisiasi sejak tahun lalu itu telah berkontribusi dalam pemusnahan 150 ton limbah medis per hari.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memberi relaksasi kebijakan terutama untuk fasyankes yang belum memiliki izin operasi pengelolaan limbah medis. Pemerintah memberikan dispensasi operasi dengan syarat insinerator suhu 800 derajat celcius dan memberikan supervisi atas pengelolaan insinerator tersebut.
Satu hal, Kementerian Kesehatan selalu mengingatkan masker bekas sekali pakai harus didesinfeksi sebelum dibuang dengan disinfektan atau klorin. Lantas masker bekas tersebut digunting agar tidak bisa dipakai ulang.
Kumpulkan masker bekas yang sudah didesinfeksi ke dalam plastik, bungkus rapat dengan simpul mati. Pisahkan sampah masker dengan sampah rumah tangga. Jangan lupa untuk mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah membuang masker.
Dengan mengikuti kiat tersebut, setidaknya Anda turut berpartisipasi untuk mencegah sampah alat-alat pelindung kesehatan agar tidak menjadi petaka. (indonesia.go.id)