Dampak pasca Covid-19 hegemoni barat yang dipimpin Amerika menjadi kehilangan relevansinya. Dunia barat terbukti gagal melawan pandemi Covid-19.
Sementara Tiongkok sebagai negara pertama di dunia yang terserang pandemi telah berhasil lolos karena memiliki kekuatan inovasi dalam melawan pandemi Covid-19. Hal ini didukung dengan birokrasi komando yang bekerja efektif memutus mata rantai penularan virus.
“Protokol kesehatan yang berhasil diterapkan di Tiongkok ternyata gagal diterapkan di sejumlah negara barat yang penduduknya dinilai sangat melek huruf dan memiliki tradisi disiplin yang kuat di tempat-tempat publik,” ujar Prof Dr Muhadjir Darwin MPA, saat berlangsung Webinar Review dan Proyeksi Indonesia Pasca Covid-19.
Dalam pandangan Muhadjir, pasca Covid-19 Tiongkok diramalkan akan menjadi adikuasa baru menggantikan Amerika. Hal ini disebabkan Tiongkok sebagai negara teknologi memiliki ribuan inovasi dan menjadikan inovasi seperti ideologi baru disana.
Sedangkan Amerika dampak pasca Covid-19, kondisi ekonominya menjadi rapuh. Anggaran Amerika mengalami defisit yang luar biasa dan Presiden Trump menutupinya dengan memperbanyak utang negara sehingga ia kini dijuluki sebagai “raja utang”.
“Dengan demikian, masuk akal untuk menduga Tiongkok akan memimpin perekonomian dunia. Dunia tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan senjata, tetapi oleh kekuatan inovasi,” ucap Kaprodi Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM.
Dugaan tersebut, menurut Muhadjir dikarenakan hegemoni Amerika pada kekuatan nuklir dan dolar sekarang terkoreksi oleh hadirnya Covid-19. Amerika yang unggul di senjata “mati gaya” melawan pandemi, sementara Tiongkok telah berhasil mengatasinya melalui inovasi dan disiplin warga dalam mengimplementasikan inovasinya.
“Sebagaimana disebut Joseph Nye, persaingan global dengan mengandalkan hard-power sepertinya menjadi kekuatan yang sudah lampau. Kini semua telah berada di era peradaban baru dan utilisasi soft-power atau kekuatan lembut yang akan menjadi kunci kemenangan dalam percaturan global,” terangnya.
Hal inipun, menurut Muhadjir, memutar balik pendapat Samuel Huntington yang meramalkan dengan berakhirnya perang dingin di dunia akan muncul konflik baru yang bersumber pada identitas agama yaitu antara dunia barat Kristen dan Yahudi dengan dunia Islam. Ramalan tersebut ternyata tidak terbukti, dan hanya benar dalam waktu jangka pendek dengan maraknya terorisme Islam dan tumbuhnya radikalisme Islam anti barat, dan itupun banyak yang menuduh sebagai produk rekayasa barat.
Dunia barat tidak lagi melihat agama Islam sebagai ancaman. Bahkan, saat warga kulit putih anti Islam menembak 50 jamaah Masjid di Selandia Baru maka yang terjadi justru masyarakat Selandia Baru dekat dan melampiaskan empati terhadap praktek ibadah warga muslim di negara tersebut.
Juga di Amerika dan sejumlah negara Eropa, kehadiran Islam tidak menimbulkan aksi permusuhan dari warga Kristen dan Yahudi. Mereka justru mendapat pengakuan sosial seperti menangnya sejumlah politisi Islam untuk menduduki jabatan publik, seperti Walikota London yang seorang muslim.
Kenapa Tiongkok berhasil menang dalam percaturan global, Muhadjir menyebut pada kekuatan inovasi yang dilakukan. Ekonomi Tiongkok tumbuh pesat karena adaptasi yang inovatif terhadap eksistensi pasar global yang kapitalistik.
Tiongkok nampaknya fokus pada soft power bukan lagi pada hard power. Tiongkok sendiri sepertinya tidak mengagungkan ideologi komunismenya atau adu kekuatan senjata.
“Setelah Covid-19 ini bukan ideologi ekonomi yang menonjol, bukan pula ideologi agama. Semua agama akan tetap hadir, tetapi bukan agama yang mengedepankan hard-powernya, tapi pada keunggulan soft-powernya yaitu nilai dan pesan agama yang damai. Seperti Tiongkok dengan karakter softnya tidak pernah mengagungkan komunismenya, tapi dengan soft-power dan inovasinya berhasil menang dalam kompetisi global,” ucapnya.
Webinar Review dan Proyeksi Indonesia Pasca Covid-19 diselenggarakan Program Studi Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan, Sekolah Pascasarjana UGM. Webinar juga menghadirkan pembicara Prof. Dr. Djokosantoso Moeljono, penulis buku dan pembelajar kepemimpinan, Dr. Salomo Damanik, pemerhati kebijakan publik, SRD & Co Legal and “Strategic Policy Consultant” dan Dr. Agus Heruanto Hadna, peneliti senior PSKK UGM.
Bagi Agus Heruanto Hadna, baik Amerika Serikat yang kampium dalam demokrasi, maupun China dengan komunismenya sesungguhnya sama-sama tidak mampu menahan Covid-19. Kebijakan pemerintah di berbagai negara pun dengan berbagai macam sistem politiknya dinilai tidak siap menghadapi Covid-19.
“Bisa dibilang deliberative policy di negara-negara demokrasi tidak jalan, demikian pula dengan otoritarian di sistim komunis juga tidak jalan,” ucapnya.
Menurut Hadna, negara yang gagal memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam pengambilan keputusan sebagai negara yang paling parah terdampak akibat Covid-19. Sementara kepanikan unit-unit pemerintah terjadi dalam merespons pandemi Covid-19 dengan membuat kebijakan yang saling bertentangan. “Oleh karena itu, kecepatan, ketepatan dan risk taking dalam pengambilan keputusan menjadi kunci keberhasilan,” tuturnya.
Salomo Damanik menyatakan bagi Indonesia pasca Covid-19 yang terpenting adalah bagaimana merajut kembali ekonomi. Untuk itu, diperlukan sinergitas antar kementerian dan bukan kebijakan yang fragmented.
Diperlukan “konglomerasi” penanganan, seperti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian dalam upaya mengatasi ketahanan pangan dan swasembada pangan. Kemudian Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UKM dalam upaya menggairahkan lagi industri nasional, menghidupkan kembali sektor informal, usaha kecil dan sektor riil sehingga meningkatkan daya beli.
“Kementerian Perdagangan diharapkan mampu menjamin ketersediaan barang, kualitas barang dan harga terjangkau, sementara BPKM bisa memberi stimulus dan karpet merah untuk mereka yang mau berinvestasi,” katanya. (ugm)