Mahkamah Internasional (ICJ) harus bertindak sehubungan dengan argumentasi yang diberikan oleh tim hukum Gambia dan segera memberlakukan tindakan kuat sementara guna mengakhiri genosida Myanmar atas orang-orang Rohingya, kata Burmese Rohingya Organisation UK (BROUK).
Sidang di Den Haag atas kasus genosida yang dibawa oleh Gambia terhadap Myanmar di ICJ berakhir, Kamis (12/12). Pengadilan kini akan memutuskan apakah akan memberlakukan tindakan sementara, secara efektif merupakan perintah hukum yang melarang Myanmar melakukan lebih banyak pelanggaran terhadap Rohingya.
“Ini telah menjadi minggu yang penting bagi keadilan internasional. Tim hukum Gambia mengungkapkan dengan rincian yang mengejutkan skala pelanggaran atas orang-orang Rohingya. Tidak bisa ada keraguan lagi bahwa apa yang terjadi di Myanmar adalah genosida,” kata Tun Khin, Presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris (BROUK).
“Aung San Suu Kyi dan tim hukum Myanmar tidak mengajukan apa-apa selain penolakan kosong dan teknikalitas hukum untuk mencoba menghindari pengadilan bahkan membuat penghakiman apakah genosida telah terjadi,” papar Tun Khin melalui rilisnya.
“Tim hukum Gambia membongkar pertahanan tim hukum Myanmar, membuat mereka jelas terguncang dalam sesi akhir pembuktian mereka. Mahkamah sekarang harus memberlakukan langkah-langkah sementara yang kuat, dan dunia harus siap untuk bereaksi jika Myanmar gagal mematuhi. ”
Selama tiga hari dengar pendapat, Gambia menyoroti serangkaian pelanggaran terhadap Rohingya. Pada 2016 dan 2017, kekerasan ganas oleh pasukan keamanan Myanmar menewaskan ribuan orang Rohingya dan mendorong hampir 800.000 melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Rohingya yang tersisa di Negara Bagian Rakhine dikurung di penjara terbuka, di mana setiap aspek kehidupan mereka dikendalikan dan kewarganegaraan mereka ditolak.
Pembatasan yang parah dan tidak manusiawi atas kebebasan bergerak itu berarti akses ke layanan dasar seperti pendidikan dan layanan kesehatan tidak mungkin. Pembatasan-pembatasan ini membunuh orang.
Aung San Suu Kyi, bertindak sebagai “agen” Myanmar dalam kasus ini, gagal membahas sebagian besar pelanggaran, mendaku bahwa tindakan negara adalah bagian sah dalam menanggapi terorisme dan menolak untuk bahkan menggunakan istilah “Rohingya. Pengingkaran atas identitas kami adalah bagian dari kebijakan genosida terhadap kami, kata Tun Khin.
“Pembelaan Aung San Suu Kyi bagi militer di ICJ membuat mereka lebih mudah untuk terus melanggar hukum internasional. Perhatian lebih juga harus diberikan atas berbagai kebijakannya sendiri yang menindas dan mendiskriminasi orang Rohingya, yang adalah bagian dari genosida yang sedang berlangsung terhadap kami,” imbuhnya.
“Minggu ini, Gambia telah menunjukkan kepemimpinan yang sesungguhnya di panggung dunia internasional. Sebuah negara kecil telah bangkit membela dan berkata ‘tidak akan pernah lagi’ (‘never again’), untuk itu Rohingya sangat berterima kasih. Komunitas internasional harus mengikutinya. Lebih banyak negara, seperti sudah dilakukan Kanada dan Belanda, harus memberikan dukungan mereka kepada Gambia dalam kasus ini. ”
Pada 11 Desember, pemerintah AS juga menjatuhkan sanksi pada empat pemimpin militer Myanmar – termasuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing – karena “pelanggaran serius hak asasi manusia ”oleh Tatmadaw. Secara resmi semua aset di AS akan dibekukan dan warga negara AS dilarang melakukan bisnis dengan mereka.
“Sanksi-sanksi yang diumumkan oleh AS disambut baik tetapi hanya simbolis, karena para jenderal itu tidak mungkin memiliki aset di AS dan sanksi-sanksi itu tidak akan membuat perusahaan-perusahaan AS berhenti berbisnis dengan perusahaan milik militer. Amerika Serikat sekarang harus menghentikan perusahaan-perusahaannya berbisnis dengan militer dan bantuan pendanaan genosida,” kata Tun Khin.
Disebutkan, sampai saat ini, dunia telah berdiam diri sementara genosida dilakukan terhadap orang Rohingya, meskipun janji-janji untuk tidak akan pernah lagi. Negara kecil seperti Gambia telah menunjukkan kepemimpinan dimana mereka yang dalam posisi pemimpin di Dewan Keamanan PBB belum.
“Setiap negara yang mendukung hak-hak kami harus bergabung dengan Kanada dan Belanda mendukung hal ini, dan mendukung rujukan ICC.” (sak)