Penekanan kenaikan suhu permukaan bumi yang diusung Paris Agreement 2016, mendorong pemerintah Indonesia menargetkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dapat mencapai 23% pada 2025.
Mendukung kebijakan tersebut, Ali Mundakir, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy menegaskan eksplorasi geotermal sebagai salah satu EBT harus ditingkatkan.
Ali sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa hingga kini konsumsi energi listrik Indonesia masih bergantung pada energi fosil.
Hal tersebut lantaran bahan bakar fosil lebih mudah ditemukan dan teknologi pengolahannya pun sudah menjamur dimana-mana, sehingga untuk menggunakan energi ini masyarakat tak perlu merogoh kocek dalam-dalam.
Namun, di balik keuntungan tersebut tersimpan bahaya yang tidak main-main. Lebih lanjut, Ali menerangkan gas rumah kaca yang dihasilkan dari pengolahan energi fosil dapat mengakibatkan peningkatan suhu permukaan bumi. Jika hal tersebut terus berlanjut, tentunya akan menyebabkan perubahan iklim serta permasalahan lingkungan lainnya.
“Untuk itu, pemerintah Indonesia mulai menggencarkan penggunaan geotermal sebagai alternatif guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,” imbuh Ali.
Ali juga mengungkapkan, Indonesia merupakan negara dengan cadangan sumber daya geotermal terbanyak di dunia. Sekitar 28000 megawatt energi geotermal tersimpan dalam perut bumi nusantara. Alih-alih menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan, energi sebesar itu belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Menurut peraih gelar master di University of Auckland, New Zealand ini, keberadaan energi geotermal tersebut seharusnya dapat menutupi kekurangan limit per kapita penggunaan listrik di Indonesia, mengingat saat ini konsumsi energi listrik Indonesia menempati peringkat yang tidak baik. Hal tersebut dibuktikan dari sedikitnya nilai limit penggunaan per kapita energi listriknya.
“Dengan total 6500 megawatt energi yang dimiliki, setiap penduduk indonesia hanya dapat menikmati kurang dari seribu kWh per kapita,” papar pria kelahiran 20 September 1969 ini.
Oleh karena itu, menurutnya penggunaan geotermal sebagai pengganti fosil merupakan keputusan yang bijak. Terlebih lagi, dalam satu dekade terakhir, konsumsi energi listrik Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan.
Berbicara mengenai energi geotermal, EBT ini setidaknya memiliki tiga keunggulan. Di antaranya geotermal merupakan local wisdom energy. Karena sebagian besar energi panas bumi dihasilkan oleh gunung berapi, maka keberadaan gunung sangat menentukan jumlah cadangan energi geotermal yang terdapat di suatu wilayah.
Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki cadangan energi geotermal yang sangat besar. karena 30 persen dari gunung berapi yang ada di dunia terletak di Indonesia. “Oleh karena itu, bisa juga dikatakan bahwa energi geotermal merupakan kearifan lokal Indonesia,” terang Ali.
Sebagai salah satu sumber energi, geotermal memiliki performa paling stabil. Energi terbarukan yang satu ini, dinilai mempunyai high availability (ketersediaan yang tinggi), sehingga dapat digunakan untuk memenuhi base load (beban dasar), yaitu jumlah beban minimum yang harus dipasok oleh sistem kelistrikan secara terus-menerus.
Energi geotermal juga merupakan proven technology (teknologi yang sudah terbukti aman) dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, ketika sumber energi fosil dapat dikurangi penggunaannya atau bahkan dapat dialihkan menjadi sumber energi geotermal, kelestarian lingkungan akan lebih terjaga.
Di akhir, Ali menutup sesi dengan pernyataan bahwa keberadaan geotermal akan selalu ada meskipun tidak dimanfaatkan. Ia juga mengajak seluruh audiens khususnya mahasiswa Departemen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) untuk meningkatkan inovasi dalam bidang eksplorasi energi geotermal.
“Akan lebih bijak, jika energi yang tersedia di tanah air tersebut dapat dimanfaatkan,” pungkas Ali. Pertemuan Ali dengan mahasiswa ITS tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Geosphere 2019, gawe besar Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika (HMTG) ITS. (ita)