Di tengah kompetisi perguruan tinggi pada era global yang kian bersaing, Universitas Airlangga (Unair) mendapatkan penghargaan trofi perak untuk kategori video institusi paling kreatif tingkat internasional. Penghargaan itu disampaikan dalam event 13th QS-Apple Creative Awards 2017, di Taichung, Taiwan, 22 November 2017 lalu.
Video yang diproduksi Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair itu berjudul “Teaching Generation”. Mengambil scene di beberapa lokasi di Surabaya, film itu mendapat apresiasi tinggi dari berbagai pihak. Apalagi, saat pemberian penghargaan, ada tiga Wakil Rektor serta beberapa pimpinan dan staf utusan kerjasama luar negeri kampus ini yang hadir di sana.
Suko Widodo selaku Ketua PIH tak menyangka film “Teaching Generation” bakal mendapat apresiasi tinggi hingga meraih penghargaan. Pasalnya, film diproduksi dalam rentan waktu yang cukup pendek. Pun, pesaing berasal dari berbagai negara, bukan hanya Indonesia.
“Pada awalnya tidak yakin menang. Karena kami buat dengan waktu yang relatif pendek. Kami juga harus riset untuk menggambarkan sejarah Unair dari masa ke masa,” ucap Suko. “Bersyukur, awards ini memicu kami untuk berkarya lebih baik. Ini pengakuan yang membanggakan,” imbuhnya.
Terinspirasi dari perjalanan panjang Unair “Teaching Generation” berkisah tentang perjalanan empat gerasi keluarga yang semuanya kuliah di kampus Airlangga. Keempat pemeran utamanya, Suroso, Sri, Jono, dan Selly, adalah keluarga dari empat generasi yang kuliah di fakultas berbeda di Unair.
Ialah Redo Nomadore, sutradara pembuat “Teaching Generation”, alumnus Prodi Hubungan Internasional FISIP Unair. Redo tak menyangka, karyanya mendapat sambutan yang positif.
“Project video heritage ini adalah salah satu project yang paling menantang yang pernah saya handle. Proses produksinya sangat seru dan kita banyak mengeksplorasi lokasi-lokasi bersejarah di Surabaya untuk mendapatkan set yang tepat,” ujar Redo.
Pada mulanya, Redo mendapat inspirasi dari perjalanan panjang Unair dalam memajukan pendidikan. Sejak tahun 1913, bermula dari cikal bakal Unair yang berada di Fakultas Kedokteran, kampus ini telah bertransformasi menjadi perguruan tinggi yang terus berkembang sesuai tuntutan zaman.
Beberapa lokasi yang menjadi scene film antara lain rumah tua di Dinoyo; Jalan Gula, Surabaya Utara; Tugu Pahlawan dan sekitarnya; bilangan Jalan Rajawali; serta tentu, Kampus A Unair sebagai icon. Dalam mengekplorasi ide sebelum memproduksi sebuah film, riset menjadi hal wajib. Begitupula ketika Redo menggarap “Teaching Generation”.
“Kami coba sepresisi mungkin sampai riset seragam PETA, seragam tentara belanda zaman itu, seragam tentara jepang zaman itu, model radio zaman itu, style fashion di setiap zaman, dan banyak lagi,” ungkapnya.
Keempat tokoh dalam “Teaching Generation” dibantu belasan tokoh pemeran yang lain, bercerita dari empat zaman yang berbeda. Pertama, zaman penjajahan, yakni tahun 1924 ketika cikal bakal Unair masih berupa sekolah kedokteran NIAS.
Scene zaman kedua adalah tahun 1945, zaman ketika Indonesia merdeka. Ketiga, tahun 80’an, zaman ketika dari berbagai sumber, Unair sedang banyak melakukan pembangunan. Dan keempat, scene sekarang, tahun 2017.
Redo, yang sebelumnya banyak memproduksi film-film konseptual dan deskriptif itu, mengaku gembira, film buatannya meraih penghargaan video institusi paling kreatif dan mengalahkan video-video dari beragam perguruan tinggi.
Atas penghargaan yang telah diterima, ia mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai pihak yang turut serta dalam menyelesaikan film.
“Terimakasih banyak untuk Unair yang sudah memberi arahan dan memberi keleluasaan pada saya dan tim HINTERHOV untuk mengeksplorasi ide. Juga pada seluruh Tim PIH Unair yang telah banyak mendukung pada setiap prosesnya,” terang Redo. (ita)