Film bisa jadi media kampanye gerakan sosial yang cukup baik. Salah satunya seperti yang dilakukan KPU dengan memutar film ‘Tepatilah Janji’ untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak 2024. Menurut Aulia Afniar Rahmawati, pemerhati film dari Stikosa AWS, kekuatan film yang bersumber dari sisi visual dan emosional, berpeluang membangun pemahaman tersendiri.
“Film dapat menyampaikan pesan dengan cara yang menarik secara visual dan emosional, membuat penontonnya lebih mudah terlibat dan tergerak,” kata Aulia.
Dalam film, ada elemen storytelling. Dan melalui cerita, film dapat menggambarkan situasi dan dampak nyata dari suatu isu sosial, membuatnya lebih mudah dipahami dan diingat.
Dengan dukungan teknologi, film mampu menjangkau berbagai platform, dari bioskop hingga media online salah satunya media sosial.
“Akan lebih baik, sebagai bagian dari proses berliterasi, film didukung dengan diskusi publik tentang isu-isu penting, memperluas dampak pesan kampanye.
Meski demikian, kata Aulia, efektivitas film sebagai media kampanye gerakan sosial juga tergantung pada beberapa faktor. Satu hal yang terpenting, lanjut dia, adalah kualitas film.
Film harus memiliki kualitas yang baik agar dapat menarik perhatian dan diterima oleh penonton. Jika prasyarat ini dipenuhi, film perlu memperkuat strategi distribusi untuk memastikan film mencapai target audiens yang diinginkan.
“Keniscayaan juga jika film melakukan integrasi dengan media lain. Film sebaiknya menjadi bagian dari strategi kampanye yang lebih luas, didukung oleh media dan aktivitas lainnya. Tapi sekali lagi, isi film harus relevan dan dapat diterima oleh masyarakat sasaran,” jelas Aulia.
Lebih jauh, ia pun memberi contoh bagaimana film digunakan sebagai media kampanye untuk gerakan sosial di luar negeri. Misalnya An Inconvenient Truth (2006), sebuah film dokumenter yang dibintangi mantan Wakil Presiden AS Al Gore dan fokus pada isu perubahan iklim.
“Film ini menjadi katalis untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pemanasan global dan mendorong tindakan lingkungan di seluruh dunia,” kata Aulia yang juga tercatat sebagai alumni Stikosa AWS ini.
Beberapa film yang ada saat ini, lanjutnya, juga tak hanya muncul sebagai representasi produk hiburan. Tetapi memiliki kekuatan pesan yang sangat kuat.
“Dulu ada film 12 Years a Slave (2013). Ini semangatnya anti rasisme dan perbudakan. Lebih jauh lagi, film ini menyuarakan fakta ketidakadilan yang rasial. Bahkan film V for Vendetta (2005), yang terkesan lahir dari pop culture, sejatinya membawa pesan kuat pada semangat perlawanan terhadap kekuasaan dan pemberontakan melawan sistem yang korup,” jelas Aulia.
Dengan gambaran ini, baik langsung atau tidak, bukan hal baru jika film kemudian diposisikan sebagai alat yang kuat untuk meningkatkan kesadaran, memicu diskusi publik, dan bahkan mendorong perubahan kebijakan dalam berbagai isu sosial.
“Tetapi efektivitas film-film ini sulit berdiri sendiri. Film harus didukung kampanye yang lebih luas, termasuk keterlibatan media, advokasi, dan aksi grassroots,” tutupnya.