Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei mengenai Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia yang hasilnya dirilis pada Rabu (28/8) di Jakarta.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kebudayaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, mengungkapkan survei ini bertujuan untuk memotret persepsi publik dan tokoh mengenai evaluasi mereka terhadap Pemilu Serentak 2019 yang menjadi tonggak demokrasi baru di Indonesia.
Dirinya menjelaskan, hasil survei ini akan digunakan untuk memetakan persoalan Pemilu dan bagaimana konsolidasi pemilu Indonesia ke depan. “Dari survei ini kita bisa melihat, pemilu masih menjadi tantangan besar bagi kita,” tegas Tri Nuke Pudjiastuti.
Survei Pemilu Serentak 2019 berlangsung 27 April hingga 5 Mei 2019. Dengan menggunakan metode multistage random sampling, para surveyor melibatkan 1500 responden dari 34 provinsi dengan margin of error lebih kurang sebesar 2,53 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Survei ini juga menangkap persepsi 119 tokoh dari berbagai latar belakang (akademisi, politisi, jurnalis, pengusaha, budayawan, tokoh masyarakat, tokoh agama, aktifis isu perempuan, NGO dan pemuda) di lima kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Padang, Pontianak, Surabaya, dan Makassar dengan metode purposive sampling.
Koordinator Survei Prioritas Nasional 2019 Wawan Ichwanudin dari Pusat Penelitian Politik LIPI menjelaskan, dua tujuan dasar Pemilu Serentak 2019 masih belum tercapai.
“Dalam naskah akademik UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ada dua tujuan dasar yakni terciptanya kestabilan pemerintahan yang dihasilkan dari keselarasan hasil pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Kedua, memberi ruang pada pemilih agar lebih cerdas dalam memilih,” ujar Wawan.
Hasil survei menunjukkan tujuan dasar yang pertama belum tercapai karena hanya 16,9 persen responden mengaku memilih caleg/partai pendukung calon presiden dan wakil presiden pilihannya.
Sementara itu, tujuan dasar yang kedua tidak terpenuhi sebab 74 persen responden survei publik dan 86 survey tokoh merasa disulitkan oleh hal-hal teknis selama Pemilu Serentak 2019.
“Bagi para pemilih, Pemilu Serentak ini rumit. Jangankan memilih secara rasional, para pemilih merasa dipusingkan oleh jumlah surat suara yang terlalu banyak,” jelas Wawan.
Dirinya menjelaskan, hasil survey menunjukkan 82 persen responden tokoh menganggap skema Pemilu Serentak harus diubah atau ditinjau kembali.
Kualitas Pemilu Serentak 2019 pun menjadi sorotan. Mayoritas responden menilai Pemilu Serentak 2019 telah dilaksanakan secara adil dan jujur baik di tingkat regional (91,2 persen) maupun nasional (74,7 persen).
Namun, 47,4 persen membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan mirisnya 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
“Itu menunjukkan bagi masyarakat, politik uang bukan menjadi salah satu komponen untuk menilai integritas penyelenggaraan Pemilu,” lanjut Wawan.
Terhadap peran media dalam Pemilu Serentak 2019, tim survei menemukan 90,8 persen responden tokoh menganggap media swasta tidak netral dan 18,5 persen responden tokoh menilai media pemerintah tidak netral.
Penyebaran hoax yang dianggap begitu massif berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat pada pers di angka 66,3 persen.
“Angka ini jauh lebih rendah dari yang didapatkan oleh DPR yakni 76persen, yang seringkali dalam berbagai survei mendapat kepercayaan yang lebih rendah dibanding lembaga demokrasi lainnya,” ujar Wawan.
Dirinya mengungkapkan, sebanyak 93 persen responden memberikan skor 6-10 dalam skala 1-10 yang artinya cenderung setuju bahwa penyebaran hoax selama Pemilu Serentak 2019 berlangsung masif. “Hanya 7 persen yang memberi penilaian pada skor satu sampai lima,” ujar Wawan.
Menurut Wawan, maraknya hoax juga didukung oleh ketidakmampuan media arus utama untuk menandingi kecepatan dan luasnya keterjangkauan media baru yang seringkali menjadi instrumen penyebaran hoax.
Terkait dengan isu politik identitas, 54,2 persen responden tidak sepakat apabila isu agama digunakan dalam politik. “Akan tetapi angka responden dalam survei publik yang menyatakan keberatan dalam memilih caleg yang berbeda agamanya dengan mereka cukup tinggi mencapai 41 persen,” ujar Wawan.
Sementara dalam survei tokoh diperoleh data sebanyak 80,7 persen responden menjawab latar belakang agama caleg menjadi pertimbangan dalam memilih. Angkanya lebih tinggi dibanding pertimbangan soal latar belakang etnis (73,9 persen). “Hal ini menunjukkan bahwa identitas terutama agama, masih menjadi isu yang relevan dalam politik Indonesia,” tutup Wawan. (ist)