Pemerintah kembali membuka peluang proses ekspor pasir laut ke luar negeri. Setelah hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, kini muncul aturan baru. Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 20/2024 dan 21/2024 untuk merevisi larangan ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun dilarang.
Menanggapi polemik ini, Dr Eng Sapto Andriyono SPi MT, Dosen Biologi Kelautan, Akuakultur dan Ekologi Molekuler Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga memberikan tanggapan. Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa perlu diperhatikan dampak ekologis maupun sosial dari kegiatan ekspor pasir laut yang sedang gencar pemerintah galakkan.
Proses ekspor pasir laut perlu memperhatikan perubahan aktivitas manusia yang dapat mengubah kondisi alam. Baik secara langsung maupun tidak. Proses ini dapat mengganggu keseimbangan ekologis perairan laut. Khususnya di wilayah yang menjadi pusat pengerukan pasir maupun sedimen yang akan diekspor.
“Pasir di ekosistem laut menjadi tempat hidup organisme yang hidup di dasar perairan dan memiliki peran penting dalam ekologis. Seperti daur mineral yang secara langsung dapat mempengaruhi kelangsungan proses ekologis. Dengan adanya kegiatan ini dapat merusak pasir sebagai habitat organisme,” ungkapnya.
Selain sebagai habitat organisme, Sapto menambahkan penambangan pasir secara intensif dapat mengubah garis pantai. Perubahan arus akan terjadi pada daerah yang menjadi lokasi pengerukan sedimen pantai yang akan merubah bentuk geografi pantai dan merusak kapiler air laut dan tawar.
“Perlu perhatian khusus pada dampak intrusi air laut yang mana membuat air laut semakin naik ke daratan. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mendapatkan air tanah yang tawar di wilayah pesisir. Sehingga penyediaan air bersih untuk kegiatan rumah tangga menjadi sulit dilakukan,” ungkapnya.
Sapto mengungkapkan bahwa proses pengerukan pasir maupun sedimen laut dapat membuka lapangan pekerjaan baru. Namun, ia menekankan bahwa lapangan pekerjaan yang disediakan hanya bersifat sementara sampai dengan tercapainya target pengerukan pasir maupun sedimen laut. Ia menambahkan dampak yang timbul akan bertahan lebih lama.
“Lapangan pekerjaan yang ada hanyalah sementara. Lalu bagi nelayan pasti mereka harus melaut ke lokasi yang lebih jauh. Dengan lokasi yang lebih jauh, biaya transportasi akan semakin besar. Dan pasti terdapat perubahan alat tangkap menyesuaikan dengan lokasi penangkapan ikan,” ungkapnya.
Dalam menangani permasalahan ini, Sapto menekankan pentingnya sinergi antara masyarakat dan pemerintah untuk menghentikan berjalannya penambangan pasir untuk ekspor. Pemerintah harus tegas dalam menghentikan segala bentuk kegiatan yang akan banyak merugikan lingkungan daripada manfaatnya. Masyarakat tentu harus ikut andil dalam mengawal jalannya kebijakan ini.
“Pemerintah harus mencabut peraturan yang ada dan menghentikan segala bentuk penambangan pasir dan mencabut izin badan-badan yang terlibat. Selain itu, perlu pelatihan untuk memberikan keterampilan bagi masyarakat agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Supaya tidak lagi menggeluti profesi penambang pasir atau sedimen laut,” pungkasnya. (ita)