Calon Presiden RI 2024-2029 Ganjar Pranowo lahir pada masa ketika Indonesia sedang merayakan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-30 yang jatuh pada 28 Oktober 1968.
Ia merupakan anak ke-5 dari enam bersaudara dari ayah yang bekerja sebagai polisi dengan pangkat terakhir Letnan Satu (Lettu) saat pensiun.
Sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari mendidik anak-anaknya untuk menjadi manusia jujur, berintegritas dan menjaga nama baik serta mampu menjaga martabat keluarga Kehidupan Ganjar sejatinya tidak mudah.
Di antara keterbatasan ekonomi keluarganya, Ganjar memiliki riwayat pengalaman yang sama dengan Presiden Sukarno soal pergantian nama. Bagi orang Jawa mengganti nama seorang anak menjadi hal lumrah dan kerap dilakukan. Utamanya jika anak tersebut sakit-sakitan karena dianggap namanya tidak cocok.
Orang Jawa menyebutnya dengan istilah kabotan jeneng (keberatan nama). Pun anak yang sakit-sakitan akibat kabotan jeneng dipercaya akan pulih kesehatannya setelah namanya diganti. Sukarno kecil yang memiliki nama lahir Kusno Sosrodihardjo dulunya sering sakit-sakitan sehingga diganti namanya menjadi Sukarno.
Nama yang terinspirasi dari tokoh pahlawan terbesar dalam cerita Mahabrata bernama Karna yang memiliki sifat setia kawan, berjiwa patriot, dan mengabdikan seluruh hidupnya demi bangsa.
Pun Ganjar Pranowo memiliki nama kecil Ganjar Sungkowo. Ganjar memiliki arti ganjaran atau hadiah. Sementara Sungkowo berarti belasungkawa. Jika digabungkan kira-kira artinya “hadiah belasungkawa“.
Ceritanya, nama Ganjar Sungkowo dipilih karena ia lahir ketika kondisi ekonomi keluarga sangat susah. Praktis kondisi Ganjar seolah mengikuti namanya Sungkowo (belasungkawa).
Ia kerap sakit, tangannya terhimpit bus dan pelbagai kesialan lain yang dialaminya. Situasi memprihatinkan ini terus berlanjut hingga Ganjar masuk ke Sekolah Dasar (SD).
Barulah di kelas 2 SD, keluarganya memutuskan mengganti nama Ganjar Sungkowo menjadi Ganjar Pranowo. “Pra” artinya sebelum dan “nowo” yang merupakan bahasa Jawa berarti sembilan.
Pun jika digabungkan Pranowo “sebelum yang kesembilan”. Ganjar tidak begitu memahami alasan keluarga mengubah nama belakangnya menjadi Pranowo, padahal ia bukan anak ke-delapan.
Entahlah apa alasannya, bisa saja ini sebagai doa khusus yang terselip dari ayahnya terkait kehidupan Ganjar pada masa yang akan datang.
Ganjar sejak muda telah senang membaca buku-buku terkait kehidupan dan pemikiran Sukarno. Meskipun pada saat itu kebijakan de-Sukarnoisasi sedang digalakkan oleh pemerintahan Soeharto.
Adapun de-Sukarnoisasi adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah otoritarianisme orde baru yang memperkecil peranan dan kehadiran Sukarno dalam sejarah ingatan bangsa Indonesia.
Lebih lagi ayah Ganjar berprofesi sebagai anggota Polri yang pada masa Soeharto berkuasa masih tergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang wajib melaksanakan kebijakan pemerintah. Termasuk dalam upaya de-Sukarnoisasi di seluruh wilayah pelosok negeri.
Tentu hal ini memperkuat asumsi bahwa kecintaan Ganjar pada sosok Sukarno melampaui segala ketakutan dan potensi tindakan represif yang ia bisa dapatkan dari rezim berkuasa saat itu. Keberanian Ganjar ini pula dikonversinya dengan membangun gerakan melawan kebijakan pemerintah orde baru.
Bergabung GMNI
Pun tepat ketika Ganjar Pranowo resmi menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum UGM tahun 1987, ia memilih bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi yang bergerak atas dasar pemikiran Marhaenisme Bung Karno.
Meneguhkan sikap Ganjar tidak hanya bergulat pada bacaan ide dan pemikiran, tetapi juga diaplikasikannya dalam dunia organisasi gerakan.
Selain bergabung di GMNI, Ganjar juga aktif di mahasiswa pecinta alam UGM yang bernama Majestik 55 dan gerakan diskusi bernama Gerakan Demokrat Kampus (Gedek).
Kedua organisasi itu merupakan wadah alternatif bagi gerakan Ganjar dan kawan-kawannya karena di GMNI waktu itu tidak ada kepengurusan yang nyata sebagai dampak kebijakan dari Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Keorganisasian (BKK) diterapkan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia oleh rezim pemerintahan Soeharto.
Namun secara subtansi, mayoritas mahasiswa GMNI Fakultas UGM bergabung secara serempak di Majestik 55 dan Gedek. Ini pula yang menjadi alasan secara ideologis kedua organisasi tersebut merupakan organisasi bayangan yang didesain sebagai wadah menjalankan ideologi Marhaenisme Bung Karno.
Gerakan ini semakin meluas. Aktivitas protes pada kebijakan pemerintah atas pelbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil menjadi fokus utama dunia pergerakan Ganjar dan kawan-kawannya.
Seorang senior di GMNI yang juga merupakan politisi dan anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Soetardjo Soerjogoeritno atau Mbah Tarjo menaruh perhatian terhadap aktivitas Ganjar dan Gerakan Demokrat Kampus (Gedek) yang membuat gerakan protes bernama “Bangkit”.
Gerakan ini awalnya adalah gerakan moral membangun kesadaran agar mahasiswa-mahasiswa nasionalis di UGM bangkit dalam memberikan perlawanan pada rezim orde baru. Waktu itu Ganjar dan kawan-kawannya memakai kaos putih, bergambar Bung Karno berwarna merah dengan bertuliskan “Bangkit” dan “Generasi Demokrat Kampus”. Sikap Ganjar yang kritis dan cerdas langsung memikat hati Mbah Tarjo.
Ganjar secara verbatim kemudian diundang Mbah Tarjo datang ke rumahnya dalam melanjutkan diskusi terkait persoalan kerakyatan. Mbah Tarjo punya panggilan kesayangan pada Ganjar, yaitu Ganjar Gedek.
Ganjar Gedek di sini merujuk pada Gerakan Demokrat Kampus (Gedek) Yogyakarta yang diinisiasi Ganjar dan teman-teman aktivisnya. Bersama temannya yang bernama Sugeng Triyono atau kerap disapa Jabrik, Ganjar kemudian mendatangi rumah Mbah Tarjo untuk belajar tentang pemikiran Sukarno dan relevansinya terhadap perlawanan pada kapitalisme dan imperialisme di era mutakhir.
Mbah Tarjo adalah guru ideologi sekaligus guru politik Ganjar yang banyak “memprovokasi” dunia aktivisme Ganjar. Mbah Tarjo pula yang menjadi jalan politik bagi Ganjar untuk mengarungi politik bersama PDI (sekarang PDI Perjuangan).
Dikejar-kejar rezim orde baru Salah satu advokasi yang dilakukan Ganjar ketika menjadi aktivis mahasiswa adalah kala ia bersama Gerakan Demokrat Kampus (Gedek) dan beberapa aliansi gerakan mahasiswa di UGM mengadvokasi pembangunan Waduk Kedung Ombo yang menenggelamkan 37 desa pada 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, dan Kabuapaten Grobogan.
Sebanyak 5.268 keluarga terpaksa kehilangan tanahnya karena pembangunan waduk ini dan secara tragis mendapat penggusuran pada awal 1990-an. Waktu itu Ganjar dan kawan-kawan aktivisnya banyak mengalami teror dan intimidasi atas perlawanan mereka terhadap mega proyek tersebut.
Ganjar selama berbulan-bulan lamanya sempat bersembunyi dan tinggal pada salah satu masjid di Boyolali, tidak pulang ke rumah kakaknya di Yogyakarta agar tidak mudah ditemukan oleh pihak aparat.
Adapun proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo merupakan proyek nasional yang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintahan orde baru. Proyek itu bernilai lebih dari 281 juta dolar dengan rincian 156 juta dolar berasal dari pinjaman pada Bank Dunia dan sisanya 25,2 juta dolar berasal dari Bank Exim Jepang, dan serta sisanya ditopang oleh APBN multi-tahun, yaitu APBN tahun 1985 sampai APBN tahun 1989.
Tentu saja bagi penguasa orde baru, aktivitas Ganjar dianggap mengganggu kenyamanan pemerintah karena secara alamiah masyarakat yang terdampak memberikan dukungan penuh pada anak-anak muda UGM itu. Ganjar membangun garis demarkasi antara dirinya dengan pemerintah dalam bentuk perlawanan.
Namun bagi seorang Ganjar, perjuangan mengadvokasi masyarakat terdampak pembangunan Waduk Kedung Ombo bukan sekadar eksistensi sebagai aktivis mahasiswa.
Perjuangan menolak pembangunan Wadung Kedung Ombo adalah bentuk panggilan hati nurani yang tidak bisa ditawar.
Karena bagi Ganjar kala itu kesejahteraan masyarakat adalah hal pokok yang harus dan wajib dipenuhi serta tidak ada pilihan bergeser satu langkah pun dari apa yang diyakininya.
Perjuangan berbulan-bulan bersama masyarakat terdampak pembangunan Waduk Kedung Ombo membentuk karakter Ganjar untuk lebih peka terhadap kesulitan rakyat.
Dari pengalaman berbulan-bulan mengadvokasi rakyat ini pula ia belajar bahwa rezim pemerintahan otoritarianisme harus segera diakhiri karena banyak membuat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Sehingga keyakinannya terhadap perjuangan kerakyatan merupakan kewajiban memerdekakan rakyat marhaen dari segala bentuk eksploitasi, diskriminasi dan penindasan. (sumber)