Amerika Serikat (AS) resmi melangsungkan pemilihan umum presiden pada Selasa (5/11/2024) lalu. Mantan Presiden AS ke-45, Donald Trump, tampil menjadi pemenang dan akan dilantik menjadi Presiden AS ke-47 pada Januari mendatang.
Terpilihnya Trump dari Partai Republik tentunya membawa dinamika politik domestik dan luar negeri AS pada empat tahun mendatang. Sebagai calon orang paling berkuasa di AS, tentunya kebijakan luar negeri yang ia buat nantinya tidak hanya berdampak pada rivalnya saja, tetapi juga sekutu-sekutunya.
Agastya Wardhana, S Hub Int M Hub Int dosen Ilmu Hubungan Internasional, menyebut hasil pemilu AS ini akan memiliki perubahan yang cukup besar bagi kebijakan luar negeri AS ke depannya.
“Berbeda dengan Biden, AS ke depan tampaknya lebih fokus ke urusan domestik. AS akan jadi lebih transaksional dan tidak lagi memandang kerja sama internasional sebagai hal yang penting kalau tidak menguntungkan AS,” ungkap Agas.
Menurut Agas, Trump akan mengambil kebijakan luar negeri yang jauh berbeda dengan Trump. AS akan tampil lebih mandiri dengan berfokus pada kepentingan dalam negeri.
“Berbeda dengan Biden yang menganut kebijakan luar negeri tradisional AS yang mengedepankan aliansi, bekerja sama untuk mencapai kepentingan nasional, dan cenderung condong dengan aliansinya. Sementara Trump, ia memandang AS lebih baik sendirian selagi bisa mencapai kepentingan nasionalnya,” jelasnya.
Agas berpandangan bahwa Trump akan melanjutkan kebijakan yang telah ia buat sebelumnya. Seperti menggunakan narasi anti imigran dan melanjutkan perang dagang terhadap Cina.
“Ke depan jelas AS akan meninggalkan Eropa. Ini sama seperti yang terjadi pada periode pertama Trump 2016-2020. Terlebih Trump pernah menyatakan bahwa Perang Ukraina merupakan masalah Eropa, bukan masalah AS. Satu hal yang perlu diamati adalah bagaimana negara-negara Eropa merespons kemenangan Trump,” ugkap Agas.
Berbeda dengan Eropa, AS justru akan menjadikan Cina sebagai fokus utamanya. Misalnya dengan meningkatkan tarif impor terhadap barang-barang Cina untuk meningkatkan daya saing produk domestik AS. Namun, Agas mengingatkan bahwa kecil kemungkinan Trump bisa memutus total ketergantungan AS terhadap Cina sebab ekonomi kedua negara itu sudah sangat terhubung.
Dalam wawancara, Agas berpendapat bahwa kemenangan Trump tidak akan berdampak signifikan bagi Indonesia, tidak seperti Eropa, Cina, maupun sekutu AS.
“Bagi Indonesia, pergantian presiden AS bisa memberikan peluang. Pada periode Trump sebelumnya, AS itu sangat transaksional. Ini tidak akan jauh berbeda pada periode keduanya Trump. Selagi AS maupun mitranya sama-sama untung ya mereka bisa kerja sama. Beda dengan Biden yang mengedepankan value (demokrasi) sebagai syarat kerja sama, it doesn’t matter buat Trump.
Untuk mencapai peluang itu, Agas menyarankan pemerintah Indonesia agar menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih asertif. Menurutnya, Indonesia memiliki peluang lebih banyak untuk bekerja sama dengan AS karena keduanya memiliki presiden yang berprinsip transaksional.
“Kalau di periode pertama Trump kemarin kan Indonesia dipimpin Jokowi yang tidak tertarik dengan isu luar negeri. Jokowi cenderung pasif dan lebih menyerahkan isu luar negeri ke Kemenlu. Kalau Prabowo saya lihat dia lebih aktif di isu-isu luar negeri. Saya kira ada kecocokan antara Trump dan Prabowo yang sama-sama pragmatis dan transaksional,” pungkasnya. (ita)