Dosen UGM Bantu Ungkap Perdagangan Cula Badak
KOMUNITAS PERISTIWA

Dosen UGM Bantu Ungkap Perdagangan Cula Badak

Dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Dr Dwi Sendi Priyono terlibat peran penting dalam membantu aparat penegak hukum menangani kasus perdagangan cula badak senilai Rp 245 miliar. Sendi melibatkan mahasiswa, Hapiz Al-Khairi dan mahasiswa Tim MBKM untuk transfer knowledge khususnya DNA Forensik Satwa Liar.

Operasi ini dilakukan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Polda Sumatera Selatan. Bersama aparat terkait, Sendi mengungkap jaringan perdagangan satwa ilegal yang diduga melibatkan spesies yang dilindungi secara internasional.

Penyelidikan ini mengarah pada penangkapan seorang tersangka yang diidentifikasi sebagai ZA, seorang warga berusia 60 tahun dari 24 Ilir, Bukit Kecil, Palembang, Sumsel. Ia ditangkap saat mencoba melakukan transaksi jual beli cula badak dan pipa gading gajah di Jalan Rama VII, Alang-Alang Lebar, Palembang.

Penangkapan ini berawal dari penyelidikan siber oleh Ditjen Gakkum yang memantau aktivitas perdagangan satwa ilegal di media sosial seperti Facebook. Setelah melakukan transaksi palsu yang diatur oleh petugas, mereka menemukan satu cula badak dan satu pipa gading gajah. Saat digeledah lebih lanjut, petugas menemukan tujuh cula badak dan tiga pipa gading gajah lain.

Menurut keterangan tersangka, total berat cula badak tersebut adalah tujuh kilogram, dengan harga jual 35 juta per gram yang mencapai total Rp 245 miliar. Selain itu, pipa gading gajah juga diperkirakan bernilai ratusan juta rupiah.

“Kasus ini menjadi yang terbesar di Indonesia dalam 10 tahun terakhir dan masih didalami kaitannya dengan jaringan Sunendi, yaitu pemburu badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten,” kata Sendi dalam rilis yang dikirim Selasa (03/09).

Tersangka ZA dijerat Pasal 40 A Ayat 1 huruf F dan Pasal 21 ayat (2) Huruf C UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

“Dirjen Gakkum akan bekerja sama dengan polisi untuk melakukan pengembangan kasus yang diduga melibatkan jaringan internasional perdagangan ilegal satwa langka dilindungi,” jelasnya.

Kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, sebab perdagangan ilegal satwa liar merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan spesies terancam punah dan ekosistem global.

Oleh karena itu, kerja sama antara akademisi dan penegak hukum sangat penting dalam mengatasi masalah ini secara efektif. “Selain dampak hukumnya, kasus ini juga mempertegas pentingnya peningkatan kesadaran publik akan konservasi satwa liar,” katanya.

Menurutnya, peningkatan usaha edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai keanekaragaman hayati dapat menjadi benteng pertahanan dalam melawan kejahatan lingkungan ini. Disamping kerja sama yang berkelanjutan antara berbagai pihak, termasuk akademisi dan penegak hukum, adalah kunci dalam melindungi keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang. (ugm)