Tuntutan penggunaan energi bersih kini sudah menjadi keniscayaan. Lahirnya Paris Agreement yang mendorong negara-negara di dunia untuk peduli terhadap perubahan iklim dan rendah karbon, termasuk di sektor kelistrikan.
Sama seperti negara lainnya, India telah mengirim sinyal bahwa negara itu bakal mempercepat pemangkasan konsumsi bahan bakar fosil, terutama untuk pembangkit listrik. India diproyeksi segera mengurangi konsumsi komoditas batu bara domestiknya. Kondisi itu secara tidak langsung membuat penggunaan batu bara di India tak akan lagi mencapai puncaknya, seperti pada 2018.
Konsekuensi logis dari kebijakan itu, seperti dikutip dari Bloomberg, beberapa waktu lalu, pangsa pasar bahan bakar fosil terkotor dalam campuran listrik India turun. Adanya pelambatan ekonomi pada 2019 yang diikuti oleh resesi akibat pandemi, menyebabkan kemungkinan konsumsi dan impor batu bara di India tidak akan pernah menembus level 2018 lagi.
Terlebih, jika Pemerintah India berupaya memenuhi sasaran energi terbarukan. India berpeluang memperkuat transisi konsumsi pembangkit listrik tenaga batu bara menjadi energi bersih dalam satu dekade berikutnya. Pengurangan secara cepat konsumsi batu bara global, diperlukan India untuk memerangi perubahan iklim yang ditetapkan di bawah Perjanjian Paris. Kondisi tersebut tak hanya berlaku untuk India, tetapi juga Tiongkok.
Sumber energi itu menawarkan kesempatan bagi pemerintah untuk mempercepat adopsi Perjanjian Paris. Adapun, India dapat mempercepat transisi dengan memberlakukan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara baru dan mendorong penutupan fasilitas lama yang tidak efisien.
Imbas ke Indonesia
Akibat kebijakan sejumlah negara itu tentu memberikan dampak bagi Indonesia sebagai produsen komoditas batu bara dunia. Bayangkan, kontribusi India terhadap total ekspor batu bara Indonesia mencapai 25 persen, mengacu data ekspor 2019. Demikian pula Tiongkok yang berkontribusi terhadap ekspor batu bara Indonesia sebesar 32 persen.
Sebagai gambaran, menurut data Asosiasi Produsen Batu Bara Indonesia (APBI) dari tahun ke tahun, terlihat konstan di atas 500 juta ton. Pada 2019, produksinya mencapai 610 juta ton, 557,54 juta ton (2020) dan ditargetkan mencapai 550 juta ton (2021). Berdasarkan data Kementerian ESDN, cadangan batu bara di tanah air diproyeksikan mencapai 91 miliar ton.
Berkaitan dengan prospek pasar ekspor komoditas batu bara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengemukakan, pasar komoditas itu masih menjanjikan. Dia mengakui harga batu legam itu masih menguat walaupun tak sekuat pada akhir Januari lalu. Tren kenaikan harga batu bara dalam beberapa bulan terakhir utamanya didorong oleh peningkatan permintaan dari Tiongkok.
“Periode seperti ini menjadi semacam golden period bagi para penambang yang sebelumnya terdampak dengan harga komoditas yang rendah sejak April-September 2020,” ujar Hendra. Namun, laju penguatan harga batu bara yang terjadi saat ini, diperkirakan mulai melambat pada kuartal kedua tahun ini. Hal ini terjadi seiring permintaan batu bara dari Tiongkok pada kuartal II/2021 diperkirakan tidak setinggi pada kuartal pertama.
Dalam rangka mengantisipasi penurunan permintaan dan adanya tren sejumlah negara mulai menggunakan energi bersih. Pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Program hilirisasi batu bara pun terus didorong. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kembali menegaskan program hilirisasi batu bara menjadi sasaran utama pemerintah ke depan. “Pemerintah bakal memberikan berbagai insentif untuk proyek hilirisasi batu bara.”
Dalam konferensi pers Capaian Kinerja Sektor ESDM 2020 dan Rencana Kerja 2021 pada Kamis (7/1/2021), Arifin menyampaikan, tujuan insentif tersebut agar sektor hilir batu bara bisa ekonomis dan kompetitif, sehingga nantinya bisa semakin berkembang. “Banyak insentif yang kita berikan, supaya hilir (batu bara) ini bisa ekonomis dan kompetitif,” ungkap Arifin.
Tidak lama berselang, sejalan dengan keluanya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, regulasi terkait sektor energi dan pertambangan pun keluar dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Salah satu yang diatur dalam regulasi tersebut adalah pemberian insentif royalti 0 persen untuk komoditas batu bara yang digunakan dalam kegiatan peningkatan nilai tambah (PNT) alias hilirisasi batu bara di dalam negeri. Ketentuan tersebut diatur dalam Bab II terkait Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Dalam Pasal 3 (Ayat 1) beleid tersebut menegaskan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi, IUP Khusus (IUPK) operasi produksi dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian untuk komoditas batu bara yang melakukan kegiatan PNT di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen.
Salah satu bentuk peningkatan nilai tambah berupa gasifikasi batu bara. Produk bernilai tambah itu merupakan proses konversi batu bara menjadi produk gas atau dimethyl ether (DME) yang dapat digunakan untuk bahan bakar maupun bahan baku industri kimia.
“Perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri,” sebut Ayat (2) beleid tersebut.
Selanjutnya, diatur bahwa pengenaan royalti sebesar 0 persen dikenakan terhadap volume batu bara yang digunakan dalam kegiatan PNT batu bara. Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan PNT batu bara, besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan akan diatur dalam Peraturan Menteri (Permen).
“Besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0 persen harus terlebih dahulu mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara,” sebut Pasal 3 ayat (5).
Adapun, PP nomor 25 tahun 2021 ini diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021. Mengenai insentif royalti 0 persen untuk batu bara yang digunakan sebagai hilirisasi, sebelumnya diatur dalam UU Cipta Kerja.
Dalam klaster ESDM, Pasal 39 menyisipkan aturan tersebut dalam ketentuan UU nomor 3 tahun 2020 alias UU Minerba. Pasal 128 A Ayat (1) menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan PNT batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara.
Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara tersebut dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen. Pertanyaannya, siapkah produsen batu bara masuk ke sektor penghiliran? (indonesia.go.id)