Disbudpar-Unair Petakan Ulang Kebudayaan Jatim
PERISTIWA SENI BUDAYA

Disbudpar-Unair Petakan Ulang Kebudayaan Jatim

Pentingnya melakukan pemetaan dan perumusan ulang kebudayaan Jawa Timur digagas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga dengan menggelar forum group discussion (FGD) pada Kamis, (24/10).

FGD bertempat di FIB UNAIR dengan menghadirkan 18 narasumber. Ke-18 narasumber yang berasal dari akademisi, praktisi, jurnalis, dan seniman itu mendiskusikan isu-isu terkini yang berkembang dalam kebudayaan Jawa Timur.

Dibagi dalam dua sesi FGD, mereka yang dianggap kompeten dalam memetakan dan merumuskan kembali kebudayaan Jawa Timur itu di antaranya membahas isu pemertahanan dan penguatan budaya lokal, industri kreatif, hingga tantangan sebagai bagian kewargaan global.

Isu-isu mengingat bahwa posisi Jawa Timur sebagai sebuah wilayah geografis dan administratif yang dalam realitasnya bukanlah sebuah entitas tunggal, melainkan plural sehingga perlu dibahas lebih intens dalam sebuah FGD.

Dijelaskan Ketua Tim Perumus Lina Puryanti, pemetaan dan perumusan ulang Kebudayaan Jawa Timur ini ada kaitannya dengan konsep bahwa Provinsi Jawa Timur sebagai satu teritori merupakan akumulasi dari sejumlah wilayah kebudayaan yang memiliki karakteristiknya masing-masing.

Berdasarkan riset Ayu Sutarto (2004) -yang masih dijadikan acuan hingga saat ini-, Jawa Timur terdiri atas sepuluh wilayah kebudayaan, di antaranya, sub kebudayaan Arek, Mataraman, Osing, Samin, Tengger, Pandalungan, Panaragan, Madura kepulauan, Madura-Bawean, dan lainnya.

Pembagian wilayah kebudayaan seperti tergambar pada bagan tersebut pada dasarnya bukanlah untuk membedakan dalam perspektif pemisahan, melainkan sebagai pemahaman karakteristik masyarakat.

Hal ini didasarkan pada pemikiran Kluckhohn terkait tujuh unsur kebudayaan: sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem peralatan hidup dan teknologi, bahasa, dan kesenian.

Apabila dicermati, sejumlah wilayah kebudayaan di Jawa Timur merupakan sintesis beberapa kebudayaan, seperti Mataraman yang mengakomodasi kebudayaan Jawa Tengah, dan Pandalungan yang menyatukan kebudayaan Jawa dan Madura.

Fakta yang demikian memperlihatkan adanya dinamika budaya yang terjadi di masa lalu. Dengan perkataan lain, baik disadari maupun tidak, dinamika budaya adalah sebuah keniscayaan.

Seiring dengan perkembangan zaman, dinamika budaya beroperasi dengan cara yang berbeda dari masa-masa sebelumnya karena tidak hanya melibatkan interaksi dan mobilitas manusia dalam ranah ruang harfiah.

Manusia sebagai anggota sebuah kebudayaan bahkan telah bergerak melampaui ruang-ruang geografis sehingga sekat-sekat kebudayaan klasik pun tidak lagi sepenuhnya dapat mengakomodasi perkembangan yang demikian.

“Dalam diskusi kita memikirkan kembali, apakah dengan perubahan zaman, misalnya berkembangnya teknologi informasi, nilai-nilai budaya tersebut masih tetap atau mengalami perubahan. Apakah justru kondisi kekinian membuat lebur ‘batas-batas’ sub kebudayaan itu? Itulah mengapa kebudayaan Jawa Timur perlu dipetakan dan dirumuskan kembali,” ujar dosen Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB UNAIR itu.

Ditambahkan Lina, salah satu kunci jitu dan efektifnya strategi pemajuan kebudayaan suatu daerah adalah cermat dan tepatnya konsep pemetaan kebudayaan di daerah tersebut.

“FGD ini hendak mengarah ke sana sehingga kita mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana kebudayaan Jawa Timur itu dipetakan. Hasilnya akan kami rekomendasikan agar bisa menjadi salah satu rujukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengambil kebijakan dan mengatur strategi kebudayaan ke depan,” ujar Lina.

Menurut Kepala Disbudpar Jawa Timur Sinarto, selama ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memiliki program terkait kebudayaan, salah satu luarannya adalah dokumen ‘Pokok Pikiran Kebudayaan Jawa Timur’.

Dalam dokumen tersebut disebutkan sejumlah permasalahan umum terkait kebudayaan, di antaranya; kurangnya pemahaman budaya tradisional pada generasi baru; kurangnya regenerasi seniman tradisional; kurangnya dokumentasi, inventarisasi, dan kajian kebudayaan; kurangnya kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pelestarian budaya.

“Salah satu titik penting dalam permasalahan tersebut adalah aspek kewaktuan. Permasalahan di sini tidak selalu bersifat negatif, tetapi lebih pada bagaimana perubahan arah budaya menyebabkan kegamangan, baik pada anggota masyarakat budaya maupun pemerintah dalam kaitannya dengan strategi dan regulasi kebudayaan,” kata Sinarto.

Dalam perkembangannya, dinamika budaya kekinian dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Mobilitas tidak lagi dipahami sebagai perpindahan secara fisik.

Pada titik ini pula, ruang meluas, batas-batas geografis dan budaya menjadi samar, dan identitas mencapai titik paling cair. Pada konteks ini, generasi melek media memainkan peranan penting.

Mereka memang tidak sepenuhnya menghasilkan produk atau artefak budaya, tetapi bisa dikatakan bahwa mereka telah membangun sistem nilai atau pandangan dunia yang tidak lagi sama dengan akar budaya asalnya.

Untuk mendapat masukan dan pandangan yang komprehensif tentang masalah di atas, 18 narasumber yang dianggap memiliki ekspertis di berbagai bidang dihadirkan. Sembilan pakar secara khusus berdiskusi dalam sesi pertama tentang “Pemetaan Kebudayaan Jawa Timur”.

Diantaranya: Dr Aribowo (akademisi UNAIR), Dr Samidi (akademisi UNAIR), Prof Djoko Saryono (akademisi Uiversitas Negeri Malang), Taufik Monyong (Presidium Dewan Kesenian Jawa Timur), Dr Mutmainah (akademisi Universitas Trunojoyo), Burhanuddin (aktivis Pulau Bawean), Supoyo (budayawan Tengger), Hasnan Singodimayan (budayawan Osing), Mbah Harjo (tokoh masyarakat Samin).

Sembilan lainnya berbincang tentang “Proyeksi Industri Kreatif dan Pariwisata Berbasis Kebudayaan”.

Diantaranya, Muhammad Ilham (akademisi), Prof. I.B. Putera Manuaba (akademisi UNAIR), Yogi Ishabib (pekerja sosial seni budaya), Wimar Herdanto (sineas), Mashuri (Sastra dan Naskah Kuna), Kharisma L. Junandaru (musisi), dan Abdul Rokhim (Pemred Jawa Pos).

“Dari hasil diskusi ini akan kami jadikan bahan untuk melakukan perumusan yang akan menjadi bahan pertimbangan gubernur dan dinas-dinas terkait masalah-masalah kebudayaan,” pungkas Lina. (ita)